Translate

Perjumpaan Gereja Mula Mula Dengan Kebudayaan

Perjumpaan gereja mula-mula dengan kebudayaan ~ Kekristenan yang bermula dari Yerusalem, awalnya para penganutnya adalah terutama orang-orang Yahudi; itulah sebabnya, kemudian kekristenan mula-mula dianggap sebagai salah satu sekte Yudaisme. Hal ini karena pengikut Yesus masih mengikuti tradisi Yudaisme yang tidak bertentangan dengan nilai-nilai kekristenan itu sendiri.

Karena Yesus sendiri menurut Eckardt, “seorang Yahudi yang baik, seorang Yahudi yang memiliki kekhasan sendiri. Sebab, Ia dengan perasaan kuat melibatkan diri-Nya di dalam kebudayaan zaman-Nya.”[1]

Setelah peristiwa Pentakosta, kekristenan mulai berkembang di luar Yerusalem, dan menjangkau bangsa-bangsa non Yahudi, di dalamnya termasuk orang-orang Yunani, maka kebudayaan dan Filsafat Yunani (baca: Hellenisme) yang sedikit banyaknya ikut mempengaruhi konsep teologi yang dibangun.

Seiring perjalanan waktu, kekristenan berekspansi ke wilayah Eropa, terutama setelah Edik Milano-nya Konstantin Agung,  kekristenkan di Eropa berkembang sangat pesat sehingga pada abad pertengahan, dapat dikatakan Eropa sebagai negara Kristen, sebab cap kekristenan mewarnai seluruh aspek kehidupan (boleh dibaca: Corpus Christianum).


Perkembangan kekristenan di Eropa mencapai puncaknya pada zaman pemerintahan Karel Agung yang wilayah kekuasaannya di sebagian besar wilayah Eropa; ia mengirim para misionaris ke hampir seluruh wilayah kekuasaannya yang kemudian banyak suku yang berhasil dikristenkan, yakni mulai dari suku Jerman, (Eropa Barat) sampai negeri Sandivania (Eropa Timur).[2]

Faktor yang menyebabkan perkembangan kekristenan di Eropa, selain karena dukungan kaisar tapi juga karena kekristenan mampu berinkulturasi saat terjadi perjumaan dengan budaya dan kearifan lokal.[3] Hal ini ditandai dengan ritual-ritual atau perayaan-perayaan yang berbau kafir berhasil “dikristenkan”.  Dengan perkataan lain, kekristenan dapat menempatkan diri sebagai sebuah agama yang menghargai nilai-nilai budaya pada saat itu khususnya budaya Eropa.  

Maka, pada abad-abad selanjutnya, tatkala Asia dan Afrika menjadi jajahan baru, lalu pada saat yang sama kekristenan melakukan ekspansinya ke negeri-negeri jajahan tersebut, maka ‘wajah’  kekristenan dengan pola pikir dan style Barat itu yang kemudian ditampilkan.




[1] A. Roy Eckardt, Menggali Ulang Yesus Sejarah: Kristologi Masakini, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1996), 44

[2] H. Berkhof dan I.H.Enklaar, Sejarah Gereja, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1992), 77
[3] Inkulturasi merupakan istilah yang dipakai oleh gereja dengan merujuk pada penyesuaikan dari ajaran-ajaran gereja pada perjumpaannya dengan kebudayaan-kebudayaan non-Kristen. Istilah ini sendiri mulanya digunakan oleh kalangan Gereja Roma Katolik, yang dicantumkan dalam dokumen Yesuit pada Kongres  Jenderal pada tahun 1974/1975; yang kemudian tahun 1975 diterima dan digunakan dalam suatu dokumen gereja sehingga belakang istilah tersebut kerap digunakan Paus Paulus II dalam berbagai kesmepatan. Di kalangan gereja Prostestan (reformasi), menggunakan kata kontektualisasi; kata ini pertama kali muncul dari terbitan Theological Education Fun (Dana pendidikan Teologi) tahun 1972, salah satu tokoh yang berperan adalah teolog berkebangsaan Taiwan, Shoki Coe. Lihat Douglas J. Elwood, Teologi Kristen Asia, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1996), 10 dan David J. Hesselgrave dan Edward Rommen, Kontekstualisasi: Makna, Metode dan Model, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1996), 48

Post a Comment for "Perjumpaan Gereja Mula Mula Dengan Kebudayaan"