Menakar Perjumpaan Gereja Dan Budaya Di Indonesia
Menakar perjumpaan
gereja dan budaya di Indonesia ~ Gereja-gereja di Indonesia
adalah hasil pekerjaan zending dari Barat, masuk bersamaan dengan kolonialisme
Barat. Dimulai pada abad ke-16,
bangsa Portugis dengan membawa misi Gereja Katolik Roma (GKR), dimulai dari
Ordo Fransiskan, kemudian Ordo Yesuit.
Menyusul
misi Protestan Calvinis yang masuk
bersamaan dengan kolonialis Belanda. Baik misi Gereja Katolik Roma (GKR) maupun Gereja Protestan masuk
bersamaan dengan kolonialisme, hal itulah yang belakangan ada stigma yang
menguasai sementara orang di luar kekristenan bahwa agama Kristen adalah agama
penjajah atau agama Barat.
Tentu
stigma tersebut tidak sepenuhnya benar sebab pada kenyataannya banyak kebijakan
pemerintah kolonial yang menyulitkan pekabaran Injil, dengan melakukan pembatasan
pekabaran Injil di beberapa daerah dengan alasan demi
ketentraman dan keamanan, antara lain: Tapanuli (1860), di Solo (1810), Aceh
dan Banten dan lain-lain.
Tatkala
adanya stigma terhadap kekristenan sebagai agama kolonial, hal ini tidak
terlepas dari “wajah kekristenan” yang ditampakkan gereja sepanjang sejarah – sampai saat ini – yang merupakan
warisan zending masa lalu. Konsep
teologis “terang dan gelap” yang sangat
dipegang teguh oleh orang-orang Kristen Barat ini yang membuat kekristenan
menjadi sebuah agama yang asing di negeri, di tengah-tengah dunia gereja
berkiprah, tidak terkecuali di Indonesia.
Gereja-gereja
di Indonesia pada saat beroperasinya zending Barat di Indonesia tidak jarang “dipaksa”
untuk menampilkan ‘wajah’ Eropa. Sehingga
tatkala misionaris
lokal menampilkan wajah kekristenan dengan menghargai kearifan-kearifan lokal tidak
jarang mereka mengalami pengucilan dan penolakan. Sebab bagi para zendeling, menjadi
seorang Kristen harus meninggalkan segala kebiasaannya yang dianggap “gelap”.
Kebiasaan-kebiasaan
yang harus dirubah bukan hanya terkait dengan kebiasaan moral dan karakter tetapi juga kebiasaan
lainnya, seperti cara berpakaian dan lain-lain. Ada kasus tertentu berkenaan
dengan sunat, di zaman zending, orang Kristen dilarang keras untuk sunat. Bagi
mereka yang melanggar, mendapatkan siasat gereja bahkan diusir.[1]
Menurut
Ngelow, sikap antipati terhadap budaya tersebut karena zending-zending yang
datang ke Indonesia berlatar belakang Pietisme, gerakan yang menekankan
kesalehan dan etika dari pada ajaran yang cenderung bersikap negatif terhadap
kebudayaan asli dan pula cenderung menjauhi masalah-masalah sosial politik.[2]
Sikap
seperti inilah yang oleh Kreamer – seorang teolog Belanda yang pernah bekerja di
Indonesia – merupakan sebuah arogansi.
Menurut catatan Kreamer, di masa lalu gereja-gereja Barat menggunakan cara-cara
yang agresif dan antithesis dalam pekerjaannya.
Kini
keberadaan gereja-gereja di Indonesia lebih dari 5 (lima) abad. Namun gereja
masih belum sepenuhnya menampilkan wajah ke-Indonesiaannya dalam praksis. Oleh
karena itu,
perlu ada upaya untuk merumuskan kembali panggilannya di tengah-tengah kehidupan dan
pengutusannya.
Post a Comment for "Menakar Perjumpaan Gereja Dan Budaya Di Indonesia"
Terima kasih sudah membaca blog ini, silahkan tinggalkan komentar Anda