Missio Dei Dan Sebuah Perjumpaan Dengan Budaya
Misio Dei dan sebuah
perjumpaan dengan budaya ~ Manakala kekristenan (boleh
dibaca: Injil) Barat yang berekspansi ke negara Dunia Ketiga, secara teologis
merupakan sebuah panggilan untuk menghadirkan missio Dei itu sendiri. Panggilan
ini sejalan dengan tugas pengutusan orang-orang percaya sesuai dengan mandat
yang Tuhan Yesus sampaikan setelah kebangkitan-Nya. Ini berarti, sesuatu yang
tidak dapat dielakkan dalam panggilan gereja dan orang-orang percaya.
Tepat,
Hendrik Kraemer mengatakan bahwa Gereja dalam segala waktu dan tempat, berada
dalam rangkuman seluas dunia dan sedekat tempat dari dunia ini yang ke dalamnya
dan kepadanya diutus.[1] Pemahaman seperti ini yang kemudian
berkembang seiring dengan pergeseran paradigma
misi. Misi yang harus dikerjakan oleh Gereja adalah missio Dei itu sendiri. Missio Dei adalah misi yang dikerjakan pula
oleh Yesus. Allah sendiri mengutus diri-Nya sendiri melalui Yesus Kristus ke
dalam dunia.
Oleh
karena itu berbicara mengenai missio Dei, maka sejatinya, kita telah berbicara
mengenai keseluruhan Alkitab; sebab keseluruhan Alkitab berbicara tentang Misi
Allah itu sendiri. Sebab Ia
berbicara mengenai seluruh karya penyelamatan Allah. Itulah sebabnya para ahli
misiologi dalam merumuskan teologi misi, tidak melulu bertolak dari Perjanjian
Baru (PB), tapi menjadikan Perjanjian Lama (PL) sebagai dasar untuk memahami
pengertian misi dalam Perjanjian Baru (PB).[2]
Sebab
Perjanjian Lama (PL), misalnya Kejadian 1-11 berbicara tentang misi penciptaan,
yakni dimulai dari penciptaan langit dan bumi serta isinya, sampai manusia yang
kemudian berkembang menjadi bangsa-bangsa. Maka menurut Kobong, Misi Allah (Lat
: Missio Dei) dalam Perjanjian
Lama (PL) dan Perjanjian Baru (PB) satu yaitu menyelamatkan kehidupan.[3]
Penemuan
kembali pemahaman bahwa misi adalah
terutama sekali merupakan inisiatif Ilahi, mendorong para sarjana biblika mengembangkan
sebuah model pendekatan penafsiran yang belakangan disebutnya, Hermeneutik Misioner. Hermeneutik
Misioner itu sendiri adalah sebuah pendekatan kepada teks Alkitab yang berasal dari
sebuah keyakinan dasar bahwa Allah memiliki misi di dalam dunia dan bahwa kita
membaca Alkitab sebagai komunitas yang terpanggil untuk ikut serta di dalam
maksud dan rencana ilahi itu yaitu penafsiran Alkitab berhubungan dengan tugas
misioner Gereja Yesus Kristus – jemaat
sebagai “hermeneutik dari Injil”.[4]
Metode
penafsiran itu sendiri memiliki metode yang bukanlah sama sekali baru atau
berbeda karena berlaku pula analisa teks, analisa historis, analisa budaya, analisa
sastra dan eksegese teologis berlaku pula, kendati dari perspektif yang
berbeda, yakni perspektif misi Allah dalam menebus dan memulihkan dunia yang
tercemar oleh dosa.
Dalam
hal ini, menurut Guder, pendekatan kepada penafsiran biblika ini berakar di
dalam suatu konsensus tentang strategi rasuli ketika mereka menjalankan misi Pentekosta (Kis.2) yakni perintisan komunitas-komunitas yang meneruskan kesaksian yang
telah menjadikan serta membentuk mereka.[5]
Salah
satu unsur yang dihasilkan dalam penafsiran Alkitab berhubungan dengan tugas
misioner gereja adalah berkenaan dengan perjumpaan Injil dengan budaya itu
sendiri. Dengan merujuk pada kitab Kisah Para Rasul, Hesselgrave dan Rommen
mengatakan bahwa:
“Kisah
Para Rasul mendukung pandangan bahwa ada Injil di budaya yang sah dalam segala
budaya. Injil disampaikan kepada orang-orang Partia, Media, Elam dan sejumlah
bangsa lainnya pada hari raya Pentakosta (Kis. 2:3-13). Kemudian berita itu
disampaikan kepada orang Samaria (Kis.8:4-8),
orang Roma (Kis.10, khususnya ay.34-35,45) dan orang Yunani (Kis. 11:19-21).
Kita tidak menyangkal bahwa Injil itu disajikan dalam bentuk budaya tertentu,
namun ternyata rencana keselamatan Allah itu, disajikan dan dipahami oleh
wakil-wakil kelompok budaya yang sangat beraneka ragam.”[6]
Tampak
bahwa tidak ada Injil yang bebas dari kebudayaan. Hal ini yang kemudian
mendorong teolog-teolog Asia untuk merekonstruksi pemikiran Barat dalam konteks
Asia. Bagi teolog-teolog Asia, perlu ada upaya untuk menyajikan Injil dalam
wajah Asia atau akar Asia; Yesus harus dipandang dengan kacamata Asia. Dalam
hal ini, para teolog Asia mencoba kritis terhadap dominasi teologi Barat, dan
mencoba merumuskan pemahaman iman Kristen yang relevan untuk konteks kebudayaan
dan situasi Asia, tokoh-tokohnya antara lain : C.S. Song, Kosuko Koyama, M. M. Thomas dan lain-lain.[7]
[1] H. Kreamer Teologia Kaum Awam, (Jakarta: BPK Gunung
Mulia, 1985), 99
[2] Diantaranya, David J.
Bosch dalam bukunya Witness to the world,
The Christian Mission in Theological Perspectiv, (London: Morgan & Scott, 1980), 17
[3] Theo Kobong, Misi – Suatu Upaya Memahami Misi Allah
Menurut Alkitab, (Jakarta: STT Jakarta, 1998), 12
[4] Michale Barram Located
Questions for a Missional Hermeneutic,” diakses 24 Mei 2019, http//goen.org; The Bible, Missions and Social Location: Toward a
Missional Hermeneutic,” Interpretation
61 vol. 1 (Januari 2017:42-58)
[5] Darrel
Guder, Missional Hermeneutics : The Missional Authorityof Scripture, “Mission Focus: Annual Review, 15
(2007),107
[6] Hesselgrave dan Edward
Rommen, Op.cit., 207
[7] J.R. Hutauruk,
“Implikasi-Implikasi Misiologis dari Perkembangan Perkembangan Teologi
Kontekstual di Asia : Suatu Gambaran Umum” dalam John Campbell-Nelson dkk (ed.)
Mengupayakan Misi Gereja yang Kontekstual
: Studi Institut Missiologi Persetia 1992, (Jakarta: Persetia 1992),
120-122
Post a Comment for "Missio Dei Dan Sebuah Perjumpaan Dengan Budaya"
Terima kasih sudah membaca blog ini, silahkan tinggalkan komentar Anda