Jokowi Untuk Indonesia Periode Kedua
Jokowi
untuk Indonesia periode kedua ~ Di kios kecil yang
berlokasi di Sekip, Kadipiro, Solo, lelaki itu setiap hari menggergaji,
menyerut, dan mengecat kayu. Dia tidak sendirian. Dia bersama tiga karyawan
lainnya. Tak ada seragam. Mereka tak berbaju. Mereka telanjang dada dengan
keringat mengucur deras. Lelaki itu, Joko Widodo.
Pada masa itu, tahun 1989,
dia baru saja punya anak bernama Gibran Rakabuming. Dia sebelumnya bekerja
sebagai staf di pabrik mebel milik Pakde Miyono, kakak dari ibunya. Tapi, niat
untuk mandiri tumbuh dalam dirinya.
Pakde Miyono mendukung niat
itu. Dia tahu lelaki kurus itu tak punya modal. Pakde lalu mengagunkan rumah
kontrakan yang ditempati Jokowi ke bank. Dapat 30 juta. Sebanyak 15 juta
dipakai untuk memperluas bisnis Pakde Miyono, sedang sisanya 15 juta dipakai untuk
usaha baru Jokowi.
Jokowi merasa risih menerima
kebaikan itu. Dia membayangkan dirinya gagal mengelola pinjaman itu. Tapi Pakde
Miyono meyakinkannya. “Anggap pinjaman ini sebagai pelecut mu. Kalau tak ingin
rumah Bapak hilang”, katanya.
Mulailah Jokowi mendirikan
CV Rakabu. Dia menyewa kios kecil di Kadipiro. Dia merekrut tiga orang untuk
jadi karyawan. Pengalaman selama kerja di pabrik milik pakde diterapkannya.
Order mulai datang, tapi masih kecil-kecil.
Dia seorang pekerja yang
tangguh. Dia sangat sering membawa pulang pekerjaan ke rumah. Istrinya Iriana
bercerita kalau ruang tamu rumah kontrakan mereka menjadi semakin sempit dan
kotor karena serbuk kayu di mana-mana. Iriana jadi saksi kalau suaminya
menggergaji kayu hingga tengah malam. Bahkan Gibran terbiasa bermain di tengah
serbuk kayu, yang digergaji bapaknya.
Tahun 1990, Jokowi mendapat
order dari seorang pengusaha di Jakarta. Nilainya cukup besar yakni 60 juta
rupiah. Jokowi langsung mengeluarkan semua simpanan untuk dijadikan modal
kerja. Dia dan karyawan lembur hingga tengah malam untuk menyelesaikan
pekerjaan itu. Ketika semua mebel dikirim ke Jakarta, dia bernafas lega.
Setelah beberapa waktu, dia
mulai gelisah. Tagihan itu tak dibayar-bayar. Bahkan pemesan jadi sulit
dihubungi. Pemesan itu kabur. Uang 60 juta lenyap ditelan bumi. Jokowi pusing
tujuh keliling. Uang pinjaman dari Pakde Miyono belum dibayar. Tiba-tiba, uang
operasional kerja hilang begitu saja. Dia benar-benar stres.
Kios ditutup. Dia tidak lagi
berbisnis. Dia bekerja serabutan. Dia mengerjakan apapun, sepanjang itu halal.
Yang penting asap dapur tetap mengepul. Situasi berat itu dilaluinya selama
berbulan-bulan. Dia menggambarkan situasi itu sebagai periode paling pahit
dalam hidupnya.
Namun dia tak ingin
tenggelam dalam kepahitan itu. Setelah berbulan-bulan menderita, dia mulai
bangkit. Dia membuka lagi kios Rakabu dan berusaha mendapat order.
Kepada pemesan, dia memohon
agar bisa dibayarkan uang muka supaya dirinya bisa membeli bahan. Dengan uang
pas-pasan, dia membeli kayu. Keuntungan didapat ketika pembeli melunasi
pembayaran. Benar-benar perjuangan.
Pelan-pelan, keadaan mulai
membaik. Jokowi bercerita kalau orang harus dibanting oleh cobaan berat dulu
untuk bisa memaknai perjuangan. Orang harus terbiasa menghadapi hantaman agar
bisa bangkit dan menemukan potensi terbaiknya.
Dia mulai membenahi desain,
meningkatkan kualitas kerja, lalu mengemas dengan baik. Dia bergaul dengan para
pengusaha lain. Dia mulai ikut pameran-pameran. Dia belajar bagaimana bisa
ekspor mebel. Hingga akhirnya dirinya menjadi bagian dari pengusaha sukses
yang memulai semuanya dari nol.
Saya menemukan penggal kisah
Jokowi ini dalam buku Menuju Cahaya yang ditulis Alberthiene Endah. Kisah
Jokowi mengingatkan saya pada kalimat bijak bahwa orang hebat bukanlah mereka
yang sejak kecil selalu berada di atas dan menjalani hidup dalam keadaan serba
nyaman.
Orang hebat adalah mereka
yang selalu bisa bangkit dari keterpurukan. Orang hebat mereka yang terbiasa
bekerja dengan keras hingga keringat menetes, serta terbiasa menghadapi situasi
sulit.
Orang hebat bukan mereka
yang menerima hidup dengan nyaman ibarat jalanan landai. Tetapi mereka yang
tertantang untuk berbuat sesuatu, mencari jalan nasib di setiap tetes keringat
kerja keras.
Tak heran jika para tetua
bijak di Makassar selalu berkata bahwa pelaut ulung tidak lahir di laut tenang,
melainkan pada lautan yang selalu bergejolak, pada ombak yang selalu menghempas
dan menelan, serta pada situasi kapal yang terombang-ambing dan nyaris karam.
Kini, dia yang pernah
bangkrut dan terpuruk itu menjadi presiden, posisi yang tak pernah
dibayangkannya. Dia mengemban amanah pada periode kedua untuk Indonesia yang
sedemikian besar, plural, dan punya cita-cita menjadi negara besar.
Tapi, masih banyak orang
yang menghina tampilan fisiknya yang biasa saja, serta keluarganya yang
biasa-biasa. Ada banyak rumor tentang dirinya yang tak pernah bisa dibuktikan.
Tapi saya melihat ada
optimisme yang tumbuh. Bahwa di tangan orang yang terbiasa berada di bawah,
menjalani masa kecil di bantaran kali, hidup berpindah-pindah dari kontrakan
satu ke kontrakan lain hingga anaknya besar itu, nasib negeri sedang
diperjuangkan.
Dia memang penuh kelemahan.
Tapi kisah-kisah perjuangan hidupnya, yang memulai sesuatu dari nol, adalah
modal berharga untuk bangsa yang sedang bergerak ini. Pada dia yang keringatnya
selalu menetes sejak muda itu, kita berharap bangsa ini selalu memiliki spirit
unggul untuk masa depan yang gemilang.
Post a Comment for "Jokowi Untuk Indonesia Periode Kedua"
Terima kasih sudah membaca blog ini, silahkan tinggalkan komentar Anda