Translate

Pentingnya Praktek Dan Produktifitas

Pentingnya praktek dan produktifitas ~ Landasan firman Tuhan untuk tema tersebut diambil dari surat Yakobus 2:14-26. Dalam Yakobus 2:26b, penulis surat Yakobus dalam pimpinan Roh Kudus terkait dengan pentingnya praktek dan produktifitas menulis demikian: “Iman tanpa perbuatan-perbuatan adalah iman yang mati”.

Hidup yang mengalami transformasi secara rohani selalu ditandai dengan: satu, ada perubahan yang relatif permanen dalam diri kita; dua, ada hasil/buah yang nyata yang bisa kita lihat atau nikmati dalam pengalaman nyata kita. Tanpa adanya dua ciri ini, maka mungkin konsep belajar yang selama ini kita pahami sebenarnya hanyalah bentuk lain dari mengingat, membaca, mengerjakan  tugas, mengulang-ulang dll. Pada bagian ini kita akan membahas penerapan praktis dari konsep Belajar Transformatif tersebut.

Percaya – Praktek = Sia-sia. Kira-kira demikianlah kesimpulan dari Yakobus 2:14-26. “Iman tanpa perbuatan-perbuatan adalah mati” (ay. 26b) adalah inti pengajaran Yakobus. Apabila kita pelajari perikop ini kita akan melihat  tingkatan-tingkatan percaya menurut Yakobus:

1. Ay. 14—17 Percaya pada tataran intelektual (kognitif).
Ketika pengetahuan kita sama sekali tidak membuahkan perubahan dalam tingkah laku. Contoh yang diberikan Yakobus adalah bila kita hanya bersetuju pada seseorang yang sedang sangat membutuhkan pakaian atau makanan sehari-hari namun kita tidak melakukan tindakan yang mencerminkan persetujuan tersebut, maka itu hanyalah omong kosong belaka.


2. Ay. 18—20 Percaya pada tataran intelektual dan emosional (kognitif dan afektif).
Yang menarik adalah contoh yang diberikan Yakobus adalah “setan percaya dan… gemetar” akan adanya Allah, namun tetap saja tidak mau tunduk pada Allah. Karenanya walaupun kita tergerak secara pikiran dan hati kita (misalnya baru pulang KKR yang membuat kita berjingkrak-jingkrak, atau mendapatkan lawatan dari Tuhan yang membuat kita menangis tersedu-sedu), namun tidak ada tindakan yang mencerminkan perubahan intelektual dan emosional tersebut, tetap saja Yakobus menyebutnya sebagai “iman yang kosong”.

3. Ay. 21—26 Tataran yang melibatkan pikiran, hati dan tindakan (kognitif, afektif dan motorik).
 Inilah yang dipuji oleh Yakobus sebagai “iman yang sempurna”. Contoh yang diberikan Yakobus adalah keteladanan dari Abraham dan Rahab yang bertindak sesuai dengan apa yang mereka percayai. Namun yang menarik adalah ada jeda waktu bertahun-tahun, antara Abraham yang percaya dan dibenarkan, dengan Abraham yang bertindak mempersembahkan Ishak anaknya.

Berarti bukan perbuatan itu sendiri yang menyelamatkan, namun tingkat iman yang siap untuk bertindak, iman yang sudah mengalami proses internalisasi sehingga menjadi nilai inti Abraham, level iman seperti inilah yang “diperhitungkan Tuhan sebagai kebenaran” dan yang menyelamatkan.

Intinya, Yakobus ingin menegaskan kembali pada kita bahwa pemahaman dan pengetahuan kita baru menjadi sesuatu yang produktif apabila kita memperlihatkan tindakan yang sesuai dengan pemahaman kita tersebut.