Translate

The Engaged Church 1

The engaged church ~ Winseman (2007, 13-22) mempelajari bagaimana lesuhnya pertumbuhan gereja di Amerika. Ia menemukan bahwa banyak gereja kian sekarat dan mengalami “serangan jantung”. Jumlah anggota jemaatnya berkurang sangat drastis, bahkan dalam tiga dasawarsa hampir menyentuh angka 50 persen.

Pertumbuhan anggota jemaat gereja berbanding terbalik dengan pertumbuhan penduduk, sehingga gereja semakin mendekati ajalnya. Apakah karena iman orang-orang Amerika semakin lenyap? Kenyataannya tidak! Penelitian Gallup menemukan bahwa orang-orang Amerika semakin religius dibanding kondisi 10 tahun silam. Jika demikian, berarti ada yang tidak sehat dalam gereja.

Karenanya, Winseman mengatakan bahwa gereja harus kembali menjadi sehat. Untuk mengarah pada pertumbuhan yang sehat maka gereja harus berhenti “melakukan” (doing) dan mulai untuk “menjadi” (being). Gereja harus berhenti fokus pada upaya-upaya untuk memelihara kelembagaannya, tetapi kembali kepada dasar dan menemukan kembali apa artinya menjadi gereja.

Gereja yang sibuk untuk “melakukan” tugas-tugasnya dapat menjadi sakit, bahkan mati. Gereja yang demikian dapat menghadapi krisis kesehatan rohani, tetapi ada gereja yang jantungnya terus berdenyut dan memiliki semangat hidup yang amat kuat. Mereka mampu menjangkau dan melayani orang lain dalam masyarakat dan dunia mereka dengan hasrat yang luar biasa, sehingga orang lain hanya bisa menyebutnya sebagai sebuah “keajaiban”. Apa yang membuat sebagian gereja di Amerika masih menunjukkan pertumbuhan yang sehat? Winseman menyimpulkan karena gereja-gereja itu memiliki engagement.



Gereja yang engaged bisa dilihat dari teladan kehidupan jemaat mula-mula (Kisah Para Rasul 2:41-47 dan 4:32-37). Setidaknya ada lima hal yang menjadi karakteristiknya:

Ada Keterikatan
Jemaat mula-mula memiliki latar belakang yang sama, yaitu sama-sama orang berdosa yang diselamatkan Tuhan karena iman mereka. Dalam prinsip persaudaraan (adelfos) dan persekutuan (koinōnia), maka gereja perlu mengingatkan kembali adanya keterikatan di antara semua anggota jemaat sebagai satu bagian dalam “rumah bersama”, yang bertumbuh bersama dalam satu Tubuh Kristus.

Kesadaran ini penting, sehingga setiap anggota jemaat merasa bahwa dirinya adalah bagian dalam satu keluarga Kerajaan Allah. Tidak ada yang merasa sebagai orang asing atau orang baru, tetapi semuanya menyatu dalam ikatan kasih dan damai sejahtera, sehingga semuanya merasa memiliki, bukan menjadi tamu di dalam gereja.

Winseman membantah konsep “believing leads to belonging”. Orang-orang tidak datang ke gereja karena mereka sudah percaya, pada kenyataannya mereka ingin menjadi bagian dari sesuatu. Karena itu, gereja harus fokus pada upaya menumbuhkan “rasa memiliki” (sense of belonging) dalam diri jemaat, dengan demikian mereka akan memiliki komitmen yang kuat.

Merasa Senang dan Riang (Satisfaction)
Pada masa kini, banyak sekali perusahaan-perusahaan jasa menekankan pada pentingnya pelanggan merasa nyaman ketika dilayani. Tidak sedikit perusahaan menginvestasikan dana dalam jumlah besar untuk menjamin kenyamanan pelanggan mereka, bahkan mereka dengan berani membuat slogan “zero mistakes” dalam melayani pelanggan.

Mengapa demikian? Sebab di era teknologi informasi dan komunikasi yang terus berkembang dewasa ini, orang-orang memiliki lebih banyak pilihan dalam mencari kebutuhan mereka. Tidak butuh waktu lama untuk membandingkan pelayanan yang satu dengan yang lainnya, sebab terdapat banyak sumber yang menyajikan hasil review atas kepuasan layanan yang diberikan.

Gereja yang ikut masuk dalam dunia yang serba digital ini mau tidak mau menghadapi realita yang sama. Jemaat tidak lagi sekedar mencari tempat beribadah, tetapi juga tempat dimana mereka bisa bertumbuh dan lebih diperhatikan. Tidak sedikit jemaat rela menempuh jarak yang jauh ke sebuah gereja demi mendapatkan “rasa nyaman” itu, sehingga mereka bisa berjemaat dengan senang dan riang.

Karena itu, gereja-gereja kontemporer semakin “berebut” menawarkan sentuhan emosional yang ekstra bagi jemaat yang beribadah di gerejanya. Apalagi, sebagian besar jemaat yang hadir hanya berstatus “simpatisan”. Semakin banyak jemaat yang enggan memastikan diri sebagai “anggota tetap” karena kuatir akan menurunnya kualitas pelayanan yang mereka terima di gereja tersebut. Sikap jemaat yang “berjaga-jaga” ini ikut mendorong gereja untuk terus memaksimalkan kualitas pelayanannya.

Jemaat yang merasa senang dan riang dalam satu gereja dengan sendirinya akan termotivasi untuk melayani sepenuh hati dalam gereja tersebut. Mereka akan dengan sukacita menyambut tantangan-tantangan pelayanan yang ada dan mengerjakannya dengan hasrat yang kuat. Jika semakin banyak jemaat yang demikian dalam satu gereja, maka dapat dipastikan pelayanan gereja tersebut akan semakin luar biasa.