Translate

Panggilan Dan Pembentukan Kepemimpinan Musa 2

Panggilan dan Pembentukan Kepemimpinan Musa ~ Musa hidup di istana Firaun selama 40 tahun. Suatu kurun waktu yang cukup panjang dan memiliki pengaruh yang kuat terhadap pembentukan kepribadian Musa. Menurut Sostenes Nggebu, Musa memiliki dua kewarganegaraan, yaitu: “Kehidupan Musa sungguh unik karena memiliki 2 kewarganegaraan. Pertama ia diangkat oleh Putri Firaun dan menjadi wargaistana, kedua ia adalah warga Ibrani yang mendapat kesempatan khusus untuk dididik dalam pengetahuan dan hikmat Mesir”.[1]

Suatu hal yang unik ialah bahwa cara Allah yang tersembunyi di dalam proses perjalanan kehidupan Musa dapat diamati dalam totalitas keberadaan Musa di istana Firaun. Mencermati sejarah kehidupan Musa dalam kaitannya dengan rencana Allah mempersiapkan Musa sebagai pemimpin bangsa Israel, paling tidak ada lima faktor kesiapan utama yang ditempuh oleh Musa, yaitu:

Tiga, kesiapan manajerial. Kemampuan memimpin (leader) harus dibentuk melalui proses transformasi kepemimpinan dengan melewati pemanfaatan instrumen-instrumen bagi pembentukan daya atau kekuatan kepemimpinan. Tidak dengan sendirinya Jitro mengangkat Musa menjadi gembala domba. Ketika Musa ditunjuk menjadi gembala domba, maka ia mulai memasuki suatu paradigma baru, dimana ia dibentuk kemampuannya menjadi pemimpin masa depan. Menjadi gembala domba bukanlah suatu pekerjaan yang ringan, sebaliknya suatu pekerjaan yang menantang dan menuntut kesungguhan dalam pengabdian.


Empat, kesiapan otoritas Ilahi. Musa mempunyai ketergantungan pada sistem transformasi, yaitu Allah yang merupakan sumber otoritas pengendali dan Musa sebagai pelaksana transformasi otoritas. Di saat Allah hendak melantik dan mengutus Musa untuk bertemu dengan bangsa Israel dalam rangka pembebasan bangsa itu dari penjajahan Mesir, Allah memerlukan adanya suatu momen dimana ada pertemuan langsung antara Musa dan Allah untuk pelantikan dan pengutusan Musa melalui proses pendelegasian otoritas Ilahi.

Ketika Musa bertemu dengan Allah melalui fakta yang mengherankan yaitu penglihatan akan nyala api yang tidak membakar semak belukar, di situlah Allah mengungkapkan diri-Nya kepada Musa sebagai Allah Israel yang mengatakan kepeduliannya terhadap bangsa pilihan Allah itu sendiri dan merencanakan untuk membebaskan mereka dari penderitaan.

Pada satu sisi, Allah melihat tokoh Musa sebagai suatu figur yang dapat dipersiapkan untuk diutus. Sekalipun demikian, Musa memerlukan kesiapan yang lebih memadai. Setelah tiga proses kesiapan yang telah dimiliki yaitu kesiapan akademik, kesiapan mentalitas dan kesiapan manajerial dimana menurut ukuran dunia sudah cukup memenuhi syarat menjadi pemimpin yang handal. Namun, dalam perspektif kepemimpinan Kristen, hal tersebut belum lengkap. Masih dibutuhkan adanya otoritas Ilahi sebagai peneguhan bagi tugas kepemimpinan yang diemban.

Itulah yang membedakan kepemimpinan Kristen dengan kepemimpinan yang bukan Kristen. Dengan kemampuan otoritas Ilahi, seorang pemimpin yang telah memiliki kesiapan seperti telah dijelaskan sebelumnya, maka memampukan sang pemimpin untuk melaksanakan misi Allah yang dipercayakan kepadanya untuk dilaksanakan.

Alkitab secara jelas menegaskan bahwa hanya dengan otoritas dan kewibawaan dari Allahlah, seorang pemimpin Kristen dapat mengaktualisasikan diri sebagai pemimpin yang memiliki otoritas secara supranatural. “Tanda-tanda ini akan menyerati orang-orang yang percaya: mereka akan mengusir setan-setan demi nama-Ku, mereka akan berbicara dalam bahasa-bahasa yang baru bagi mereka, mereka akan memegang ular, dan sekalipun mereka minum racun maut mereka tidak akan mendapat celaka; mereka akan meletakkan tangannya atas orang sakit dan orang itu akan sembuh” – Markus 16:17-18.

Lima, kesiapan keluarga. Seorang pemimpin Kristen tidak berdiri dan melayani Tuhan secara tunggal, melainkan memiliki keterikatan dengan anggota keluarganya (istri, suami dan anak-anak) yang turut berkontribusi dan mempengaruhi karakter dari sang pemimpin, baik dari aspek moralitas maupun aspek sosialnya.

Ketika Musa telah selesai pertemuannya dengan Allah dan menerima pendelegasian wewenang untuk bertindak sebagai pemimpin bangsa Israel, ia melupakan tanggung jawab mengendalikan keluarganya bagi Allah. Gerson anaknya, tidak disunat lebih dahulu ketika keluarganya hendak diikutsertakan dalam misi eksodus bangsa Israel.
Misi yang dipimpin Musa adalah misi yang kudus.

Dikatakan demikian, karena misi itu adalah misi Allah dan karena itu adalah misi Allah, maka hal itu harus dipandang sebagai misi yang kudus. Itulah sebabnya, setiap orang yang hendak terlibat dan dilibatkan dalam misi kudus itu, harus dikuduskan dan mengkuduskan dirinya bagi Allah.

Dalam hal Musa lupa mengkuduskan keluarganya bagi Allah, maka Allah menjadi murka dan mengikhtiarkan untuk membunuh Musa. “Tetapi di tengah jalan di suatu tempat bermalam, Tuhan bertemu dengan Musa dan berikhtiar untuk membunuhnya. Lalu Sipora mengambil pisau batu, dipotongnya kulit khatan anaknya, kemudian disentuhnya dengan kulit itu kaki Musa sambil berkata: “Sesungguhnya engkau pengantin darah bagiku” – Keluaran 4:24-25.





[1] Sostenes Nggebus, Dari Urkasdim sampai Babel, Bandung: Kalam Hidup, 2000, hlm. 50.