Panggilan Dan Pembentukan Kepemimpinan Musa 1
Panggilan
dan Pembentukan Kepemimpinan Musa ~ Musa hidup di istana
Firaun selama 40 tahun. Suatu kurun waktu yang cukup panjang dan memiliki
pengaruh yang kuat terhadap pembentukan kepribadian Musa. Menurut Sostenes
Nggebu, Musa memiliki dua kewarganegaraan, yaitu: “Kehidupan Musa sungguh unik
karena memiliki 2 kewarganegaraan. Pertama ia diangkat oleh Putri Firaun dan
menjadi wargaistana, kedua ia adalah warga Ibrani yang mendapat kesempatan
khusus untuk dididik dalam pengetahuan dan hikmat Mesir”.[1]
Suatu hal yang unik ialah
bahwa cara Allah yang tersembunyi di dalam proses perjalanan kehidupan Musa
dapat diamati dalam totalitas keberadaan Musa di istana Firaun. Mencermati
sejarah kehidupan Musa dalam kaitannya dengan rencana Allah mempersiapkan Musa
sebagai pemimpin bangsa Israel, paling tidak ada lima faktor kesiapan utama
yang ditempuh oleh Musa, yaitu:
Satu,
kesiapan akademik. Musa dipersiapkan, dibina dan dilatih dalam
segala pengetahuan Mesir yang merupakan kehendak Allah bagi Musa. Tentu bukan
hal mudah untuk mengikuti pendidikan formal di istana Mesir. Karenanya, Musa
harus mampu beradaptasi dengan dinamika dan perkembangan kebudayaan Mesir.
Ensiklopedi Alkitab Masa
Kini jilid dua, memberikan penjelasan bahwa: “Kurikulum pendidikan Mesir
meliputi membaca dan menulis tulisan hieroqlif dan tulisan kudus, menyalin
naskah-naskah, kaidah menulis surat dan tata administrasi. Anak-anak Firaun
juga dilatih memanah dan ketrampilan jasmani lainnya”.[2]
Lebih lanjut ditegaskan
bahwa: “Musa dibesarkan di istana (hal yang lumrah dan khas di Mesir), maka
harus diterima bahwa Musa diwajibkan mengikuti pendidikan intelektual seperti
dikemukakan di atas”.[3]
Hal Lindsey mengatakan:
“Musa merupakan seorang yang paling berkuasa dan paling berpendidikan di Mesir
dan ia pasti menjadi Firaun seandainya Allah tidak memaksa mengalihkan peran
kepemimpinannya di Mesir dan menyuruhnya pergi ke padang gurun selama empat
puluh tahun dalam mempersiapkan dirinya untuk menjalankan misi yang sebenarnya
dalam hidup Musa yang telah disiapkan Allah baginya”.[4]
Dua,
kesiapan mentalitas. Kemampuan pengetahuan akademik belum cukup
bagi Musa untuk menjadi pemimpin yang dipakai oleh Allah. Allah dalam otoritas
dan kedaulatan-Nya terus mengembangkan Musa untuk menjadi pemimpin yang
lengkap. Mentalitas Musa harus diproses dan diuji daya tahannya oleh Allah.
Ketika Musa mengalami krisis
dimana ia dalam rasa nasionalismenya yang kuat dan tinggi, telah melakukan
pembunuhan terhadap salah seorang prajurit Mesir karena membela bangsanya.
Tindakan dan perbuatan Musa tersebut telah melanggar hukum. Dan hal tersebut
sangat disadari oleh Musa karenanya ia melarikan diri ke Midian.
Peter Wongso terkait dengan
hal tersebut mengatakan: “Ia lari ke padang belantara Midian dan menjadi
gembala selama 40 tahun, berkawan dengan kambing dombanya. Dengan menjadi
gembala ini, karakter pribadinya dilatih melalui beraneka ragam sifat
binatang-binatang piaraannya. Lewat ribuan ekor kambing domba yang
digembalakan, daya latih kepemimpinannya diasah”.[5]
Di sini, Musa dibangun
kepribadian dan karakternya dari perspektif mentalitas sebagai bagian dari
proses pembentukan kepemimpinan yang handal. Musa dibawa kepada sikap mental
untuk menghamba kepada Allah dan membayar harga dari sebuah proses
kepemimpinan. J. Oswald Sanders, menulis: “Bila menginginkan kedudukan sebagai
pemimpin dalam Kerajaan Tuhan, kita harus bersedia membayar harga yang lebih
tinggi daripada yang orang lain bersedia bayar”.[6]
[1] Sostenes
Nggebus, Dari Urkasdim sampai Babel, Bandung: Kalam Hidup, 2000, hlm. 50.
[2] Ensiklopedi
Alkitab Masa Kini, Jilid 2, Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih/OMF, 1982,
hlm. 103.
[3] Ibid,
hlm. 104.
[4] Hal
Lindsey, Penggenapan Janji Allah, Bandung: Kalam Hidup, 1993, 42.
[5] Peter
Wongso, Obrolan Seorang Gembala, Malang: Seminari Alkitab Asia Tenggara, 1993,
hlm. 2.
[6] J.
Oswald Sanders, Kepemimpinan Rohani, Batam: Gospel Press, 1987, hlm. 199.