Makna Stay At Home
Makna stay at home ~ Sekarang lagi populer istilah “stay at home” atau tinggal di rumah. Saya setuju saja. Tapi pagi ini ketika saya keluar rumah pastori lalu melihat tempat sampah kami menumpuk dan tidak ada yang mengambil. Apakah petugas sampah juga stay at home ya? Bagaimana kalau semua ikuti nasehat ini?
Siapa yang akan urus sampah, bagaimana barang-barang yang dipesan dikirim dan sampai ke rumah? Kalau stay at home dimaknai literal maka berhentilah denyut kehidupan manusia. Apalagi 14 hari dan tanda-tandanya akan ditambah lagi. Jangan-jangan kita terlalu “overacting’ memahami arti “stay at home”.
Apa maksud dari himbauan ini?
(1) Jangan melakukan atau menghadiri kegiatan yang melibatkan kerumunan masal baik hiburan, sosial dan keagamaan. Saya rasa ini harus dihentikan sementara dan dialihkan ke rumah dengan cara kreatif.
(2) Jangan liburan dulu apalagi ke luar negeri atau bepergian jika tidak penting. Tahan dulu keinginan untuk “holiday”.
(3) Jika pasar dan swalayan tidak dapat dihindari untuk dikunjungi karena manusia butuh makan, maka harus ada “physical distance” alias jaga jarak, ada penyemprotan disinfektan di pasar-pasar itu. Begitu juga semua tempat umum yang pasti harus dikunjungi manusia seperti bank, supermarket, rumah sakit, puskesmas dan tempat vital lainnya. Harus ada protokol kesehatan memasuki atau berinteraksi di tempat umum.
(4) Pembesukan atau kunjungan ke rumah-rumah sementara dihentikan diganti dengan hubungan lewat komunikasi online. Saya memang tidak setuju istilah social distancing dan lebih suka istikah memisahkan diri sentuhan fisik (phisical distance). Secara sosial kita tidak boleh putus hubungan tapi dialihkan dengan cara yang berbeda .
(5) Stay at home bukan berarti tidak boleh keluar sama sekali. Jika harus keluar maka pastikan kita sehat, siapkan hand sanitizer, dan pakai masker jika ke tempat umum, hindari kontak fisik. Jangan keluar bila sakit kecuali ke rumah sakit. Jangan ketakutan berlebihan.
(6) Kantor pelayanan gereja patut dibuka karena inilah waktunya gereja berbuat. Bukan semua pelayan libur dan istirahat. Itu bukan arti “stay at home”. Akan ada jemaat yang butuh masker, obat-obatan mungkin butuh beras atau ada masalah ekonomi lainnya. Ini waktunya gerakan sosial gereja diaktifkan. Ajak jemaat jadi relawan dan gereja membuka komunikasi apa yang menjadi masalah jemaat.
Layanan online menjadi penting karena gereja harus “keep in touch” dengan jemaatnya. Jangan bombardir dengan berita dan video yang membuat jemaat ketakutan dan kita pikir itu pelayanan. Tidak, justru Anda sedang mengirimkan sinyal kewaspadaaan yang berlebihan sehingga orang bisa jadi stres. Kesehatan mental perlu diperhatikan. Justru gerakan “stay at home” membuat gereja semakin aktif melayani. Seperti kata dokter dan tenaga medis memberikan istilah “Anda tinggal saja di rumah, kami yang kerja”. Hal yang sama bagi gereja. Jemaat tinggal di rumah, kami yang melayani Anda.
(7) Ini waktu pembelajaran dan waktu bersama untuk mempererat komunikasi dalam keluarga. Disinyalir di China, gara-gara lockdown dan karantina di rumah menyebabkan angka perceraian meningkat. Jadi jangan sampai terjadi juga di sini. Waktunya belajar melihat perubahan drastis ini.
Jadi gerakan “tinggal di rumah” jangan dilakukan dengan emosi semata, tapi gunakan akal budi yang baik dan jangan “overacting”. Banyak bagikan kreativitas apa yang bisa dilakukan dalam masa-masa isolasi ini. Jangan lupa berdoa selalu.
Ps. Dr. Daniel Ronda
Siapa yang akan urus sampah, bagaimana barang-barang yang dipesan dikirim dan sampai ke rumah? Kalau stay at home dimaknai literal maka berhentilah denyut kehidupan manusia. Apalagi 14 hari dan tanda-tandanya akan ditambah lagi. Jangan-jangan kita terlalu “overacting’ memahami arti “stay at home”.
Apa maksud dari himbauan ini?
(1) Jangan melakukan atau menghadiri kegiatan yang melibatkan kerumunan masal baik hiburan, sosial dan keagamaan. Saya rasa ini harus dihentikan sementara dan dialihkan ke rumah dengan cara kreatif.
(2) Jangan liburan dulu apalagi ke luar negeri atau bepergian jika tidak penting. Tahan dulu keinginan untuk “holiday”.
(3) Jika pasar dan swalayan tidak dapat dihindari untuk dikunjungi karena manusia butuh makan, maka harus ada “physical distance” alias jaga jarak, ada penyemprotan disinfektan di pasar-pasar itu. Begitu juga semua tempat umum yang pasti harus dikunjungi manusia seperti bank, supermarket, rumah sakit, puskesmas dan tempat vital lainnya. Harus ada protokol kesehatan memasuki atau berinteraksi di tempat umum.
(4) Pembesukan atau kunjungan ke rumah-rumah sementara dihentikan diganti dengan hubungan lewat komunikasi online. Saya memang tidak setuju istilah social distancing dan lebih suka istikah memisahkan diri sentuhan fisik (phisical distance). Secara sosial kita tidak boleh putus hubungan tapi dialihkan dengan cara yang berbeda .
(5) Stay at home bukan berarti tidak boleh keluar sama sekali. Jika harus keluar maka pastikan kita sehat, siapkan hand sanitizer, dan pakai masker jika ke tempat umum, hindari kontak fisik. Jangan keluar bila sakit kecuali ke rumah sakit. Jangan ketakutan berlebihan.
(6) Kantor pelayanan gereja patut dibuka karena inilah waktunya gereja berbuat. Bukan semua pelayan libur dan istirahat. Itu bukan arti “stay at home”. Akan ada jemaat yang butuh masker, obat-obatan mungkin butuh beras atau ada masalah ekonomi lainnya. Ini waktunya gerakan sosial gereja diaktifkan. Ajak jemaat jadi relawan dan gereja membuka komunikasi apa yang menjadi masalah jemaat.
Layanan online menjadi penting karena gereja harus “keep in touch” dengan jemaatnya. Jangan bombardir dengan berita dan video yang membuat jemaat ketakutan dan kita pikir itu pelayanan. Tidak, justru Anda sedang mengirimkan sinyal kewaspadaaan yang berlebihan sehingga orang bisa jadi stres. Kesehatan mental perlu diperhatikan. Justru gerakan “stay at home” membuat gereja semakin aktif melayani. Seperti kata dokter dan tenaga medis memberikan istilah “Anda tinggal saja di rumah, kami yang kerja”. Hal yang sama bagi gereja. Jemaat tinggal di rumah, kami yang melayani Anda.
(7) Ini waktu pembelajaran dan waktu bersama untuk mempererat komunikasi dalam keluarga. Disinyalir di China, gara-gara lockdown dan karantina di rumah menyebabkan angka perceraian meningkat. Jadi jangan sampai terjadi juga di sini. Waktunya belajar melihat perubahan drastis ini.
Jadi gerakan “tinggal di rumah” jangan dilakukan dengan emosi semata, tapi gunakan akal budi yang baik dan jangan “overacting”. Banyak bagikan kreativitas apa yang bisa dilakukan dalam masa-masa isolasi ini. Jangan lupa berdoa selalu.
Ps. Dr. Daniel Ronda
Post a Comment for "Makna Stay At Home"
Terima kasih sudah membaca blog ini, silahkan tinggalkan komentar Anda