Kristus Dalam Perspektif Konsili Chalcedon
Kristus dalam perspektif konsili Chalcedon ~ Kristus disebut sebagai Allah dan manusia, Anak Manusia, juga Anak Allah. Keberadaan-Nya yang tanpa dosa terus dipegang teguh, dan Ia adalah tujuan penyembahan yang paling benar.
Memang, masalah yang timbul tentang Kristus, yang pada saat yang sama adalah Allah dan juga manusia, dan kesulitan-kesulitan yang tercakup dalam konsep ini, belum sepenuhnya dirasakan oleh orang Kristen abad mula-mula tersebut.
Mereka hanya melihatnya sebagai suatu kontroversi. Wajar saja jika Yudaisme dengan tekanan monoteistiknya memberi banyak pengaruh pada orang Kristen mula-mula yang berlatar belakang Yahudi.
Kaum Ebionit (atau sebagian dari mereka), terpaksa menyangkal keilahian Kristus. Mereka menganggap-Nya sebagai manusia biasa, anak Yusuf dan Maria, yang memperoleh kualitas-Nya setelah dibaptiskan menjadi Mesias, oleh karena Roh Kudus yang turun ke atas-Nya.
Pada zaman gereja mula-mula, ada lagi kelompok lain yang memiliki doktrin Kristologi yang disusun atas dasar yang mirip dengan itu. Kaum Alogi menolak tulisan-tulisan Yohanes sebab mereka menganggap doktrin Yohanes tentang Logos bertentangan dengan seluruh Perjanjian Baru. Mereka juga menganggap bahwa Yesus hanyalah manusia biasa, walaupun secara ajaib dilahirkan oleh seorang perawan, dan mereka mengajarkan bahwa Kristus turun ke atas Yesus pada saat baptisan, menyebabkan Dia memiliki kekuatan supranatural.
Umumnya pendapat ini sama dengan pendapat Monarkhi Dinamis. Paulus dari Samosata adalah tokoh utama ajaran yang membedakan antara Yesus dan Logos. Paulus dari Samosata menganggap Yesus adalah manusia, sama seperti manusia lain, dilahirkan oleh Maria; sedangkan Logos dianggap sebagai pemikiran Ilahi yang tidak berpribadi, yang kemudian tinggal dalam Kristus dalam pengertian praeminen, sejak waktu baptisan-Nya, dan dengan demikian memberikan kualitas bagi tugas-tugas-Nya yang besar.
Dari sudut pandang penyangkalan ini, maka tugas para tokoh apologetika pada abad mula-mula adalah mempertahankan doktrin keilahian Kristus. Jika seandainya ada orang yang mengorbankan keilahian Kristus dan hanya menekankan kemanusiaan-Nya saja, maka ada juga orang yang menekankan hal sebaliknya.
Orang-orang Gonstik jelas terpengaruh oleh konsep dualistik Yunani, dimana mereka menganggap bahwa materi adalah jahat dan merupakan lawan dari roh; dan oleh kecenderungan mistis menganggap hal-hal duniawi sebagai pernyataan alegoris dari proses penebusan kosmis yang besar.
Mereka menolak pengertian inkarnasi sebagai manifestasi Allah dalam bentuk yang dapat dilihat, sebab inkarnasi mengharuskan kontak secara langsung antara materi dan roh. Harnack mengatakan bahwa sebagian besar dari mereka menganggap Kristus adalah Roh, yang secara substansi setara dengan Bapa. Menurut sebagian dari kelompok ini, Ia turun ke atas seorang manusia yang bernama Yesus pada saat baptisan, dan meninggalkan Dia lagi sebelum peristiwa penyaliban; sedangkan menurut sebagian yang lain, Ia hanya memiliki tubuh semu.
Monarkhi Modalistik juga menyangkal kemanusiaan Kristus, sebagaian karena tekanan pada keilahian-Nya, dan sebagaian karena mereka mau menekankan kesatuan keberadaan Ilahi. Mereka melihat di dalam diri Kristus suatu cara atau manifestasi Allah yang satu, yang di dalam-Nya mereka tidak melihat perbedaan-perbadaan pribadi.
Kaum anti Gnostik dan Bapa-Bapa Gereja dari Alexandria berusaha mempertahankan keilahian Kristus, tetapi dalam usaha pembelaan ini mereka tidak sepenuhnya terlepas dari kesalahan menyebutkan bahwa Yesus lebih rendah dari Allah Bapa. Bahkan Tertulian juga mengajarkan suatu spesies subordinasi, namun khususnya hanya Origren yang tidak ragu-ragu menyebutkan tentang adanya subordinasi secara esensi.
Pandangan ini menjadi tangga penghubung bagi Arianisme, yang membedakan antara Kristus dan Logos sebagai pikiran Ilahi. Kristus disebut sebagai ciptaan yang ada secara pratemporal, bersifat melebihi manusia, ciptaan pertama, bukan Allah dan tidak lebih dari manusia.
Athanasius menentang Arius dan dengan kuat mempertahankan pendapatnya bahwa Allah Putra setara secara substansi dan berasal dari esensi yang sama dengan Allah Bapa, sebuah pendapat yang secara resmi diterima oleh konsili Nicea tahun 321. Semi- Arianisme mengemukakan pendapat tentang via-media, dengan cara mengatakan bahwa Allah Putra memiliki esensi yang sama dengan Allah Bapa.
Memang, masalah yang timbul tentang Kristus, yang pada saat yang sama adalah Allah dan juga manusia, dan kesulitan-kesulitan yang tercakup dalam konsep ini, belum sepenuhnya dirasakan oleh orang Kristen abad mula-mula tersebut.
Mereka hanya melihatnya sebagai suatu kontroversi. Wajar saja jika Yudaisme dengan tekanan monoteistiknya memberi banyak pengaruh pada orang Kristen mula-mula yang berlatar belakang Yahudi.
Kaum Ebionit (atau sebagian dari mereka), terpaksa menyangkal keilahian Kristus. Mereka menganggap-Nya sebagai manusia biasa, anak Yusuf dan Maria, yang memperoleh kualitas-Nya setelah dibaptiskan menjadi Mesias, oleh karena Roh Kudus yang turun ke atas-Nya.
Pada zaman gereja mula-mula, ada lagi kelompok lain yang memiliki doktrin Kristologi yang disusun atas dasar yang mirip dengan itu. Kaum Alogi menolak tulisan-tulisan Yohanes sebab mereka menganggap doktrin Yohanes tentang Logos bertentangan dengan seluruh Perjanjian Baru. Mereka juga menganggap bahwa Yesus hanyalah manusia biasa, walaupun secara ajaib dilahirkan oleh seorang perawan, dan mereka mengajarkan bahwa Kristus turun ke atas Yesus pada saat baptisan, menyebabkan Dia memiliki kekuatan supranatural.
Umumnya pendapat ini sama dengan pendapat Monarkhi Dinamis. Paulus dari Samosata adalah tokoh utama ajaran yang membedakan antara Yesus dan Logos. Paulus dari Samosata menganggap Yesus adalah manusia, sama seperti manusia lain, dilahirkan oleh Maria; sedangkan Logos dianggap sebagai pemikiran Ilahi yang tidak berpribadi, yang kemudian tinggal dalam Kristus dalam pengertian praeminen, sejak waktu baptisan-Nya, dan dengan demikian memberikan kualitas bagi tugas-tugas-Nya yang besar.
Dari sudut pandang penyangkalan ini, maka tugas para tokoh apologetika pada abad mula-mula adalah mempertahankan doktrin keilahian Kristus. Jika seandainya ada orang yang mengorbankan keilahian Kristus dan hanya menekankan kemanusiaan-Nya saja, maka ada juga orang yang menekankan hal sebaliknya.
Orang-orang Gonstik jelas terpengaruh oleh konsep dualistik Yunani, dimana mereka menganggap bahwa materi adalah jahat dan merupakan lawan dari roh; dan oleh kecenderungan mistis menganggap hal-hal duniawi sebagai pernyataan alegoris dari proses penebusan kosmis yang besar.
Mereka menolak pengertian inkarnasi sebagai manifestasi Allah dalam bentuk yang dapat dilihat, sebab inkarnasi mengharuskan kontak secara langsung antara materi dan roh. Harnack mengatakan bahwa sebagian besar dari mereka menganggap Kristus adalah Roh, yang secara substansi setara dengan Bapa. Menurut sebagian dari kelompok ini, Ia turun ke atas seorang manusia yang bernama Yesus pada saat baptisan, dan meninggalkan Dia lagi sebelum peristiwa penyaliban; sedangkan menurut sebagian yang lain, Ia hanya memiliki tubuh semu.
Monarkhi Modalistik juga menyangkal kemanusiaan Kristus, sebagaian karena tekanan pada keilahian-Nya, dan sebagaian karena mereka mau menekankan kesatuan keberadaan Ilahi. Mereka melihat di dalam diri Kristus suatu cara atau manifestasi Allah yang satu, yang di dalam-Nya mereka tidak melihat perbedaan-perbadaan pribadi.
Kaum anti Gnostik dan Bapa-Bapa Gereja dari Alexandria berusaha mempertahankan keilahian Kristus, tetapi dalam usaha pembelaan ini mereka tidak sepenuhnya terlepas dari kesalahan menyebutkan bahwa Yesus lebih rendah dari Allah Bapa. Bahkan Tertulian juga mengajarkan suatu spesies subordinasi, namun khususnya hanya Origren yang tidak ragu-ragu menyebutkan tentang adanya subordinasi secara esensi.
Pandangan ini menjadi tangga penghubung bagi Arianisme, yang membedakan antara Kristus dan Logos sebagai pikiran Ilahi. Kristus disebut sebagai ciptaan yang ada secara pratemporal, bersifat melebihi manusia, ciptaan pertama, bukan Allah dan tidak lebih dari manusia.
Athanasius menentang Arius dan dengan kuat mempertahankan pendapatnya bahwa Allah Putra setara secara substansi dan berasal dari esensi yang sama dengan Allah Bapa, sebuah pendapat yang secara resmi diterima oleh konsili Nicea tahun 321. Semi- Arianisme mengemukakan pendapat tentang via-media, dengan cara mengatakan bahwa Allah Putra memiliki esensi yang sama dengan Allah Bapa.