Translate

Relevansi Pembenaran Dengan Pengudusan 1

Relevansi pembenaran dengan pengudusan ~ Di dalam merelevansikan pembenaran dan pengudusan itu di dalam kehidupan seorang percaya, Calvin berangkat dari pernyataan, “kita harus kudus, karena Allah kita kudus” (Im. 19:1; 1 Pet. 1:16).[1] Ada beberapa aspek yang diuraikan Calvin berkaitan dengan pemikiran ini.[2]

1. Hidup mengikuti teladan Kristus.
Allah telah mendamaikan kita dengan diri-Nya di dalam Kristus, maka di dalam Kristus pula telah ditentukannya gambar kita yang dikehendaki-Nya, menjadi teladan yang harus diikuti. Di dalam keberadaan kita yang berdosa, Kristus telah menjadi pengantara sehingga kita kembali berkenan kepada Allah dan Kristus menjadi teladan bagi kita supaya wujud-Nya terungkapkan di dalam kehidupan kita.[3]

Di dalam pemikiran hidup meneladani Kristus, Calvin melihatnya dari pemikiran Paulus mengenai “menjadi serupa dengan Kristus” (to the image of Christ). Dalam pemikiran ini, ia melihat bahwa hidup menjadi serupa dengan Kristus menyatakan suatu hidup orang percaya yang didasarkan pada hidup dan teladan nyata dari Kristus, dimana setiap orang percaya “memikul salibnya” dalam mengikut Tuhan.[4]



Baca juga: Relevansi Pembenaran Dengan Pengudusan 2.

Kristus telah meninggalkan suatu teladan bagi kita, supaya kita menjadi serupa (imitation) dengan-Nya. Calvin menyatakan bahwa menjadi serupa atau meneladani Kristus di sini bukan dengan melakukan seperti yang Yesus lakukan, melainkan dalam hal kuasa-Nya yang telah Ia berikan kepada kita. Meneladani Kristus lebih dimengerti sebagai tindakan iman kita bahwa melalui kematian dan kebangkitan dengan Kristus kita akan hidup bersama-sama dengan-Nya (Rm. 8:29).[5]

2. Hidup dalam kekudusan yang sebenarnya.
Calvin mendasarkan pemikiran ini dengan melihat kepada anugerah Allah yang Kudus yang telah membenarkan dan menguduskan orang percaya. Ia menyatakan,
If the Lord adopts us for his sons on the condition that our life be a representation of Christ, the bond of our adoption, - then, unless we dedicate and devote ourselves to righteousness, we not only, with the utmost perfidy, revolt from our Creator, but also abjure the Savior himself.[6]

Dengan mendasarkan kepada pemikiran di atas, Calvin menyatakan bahwa yang menjadi tujuan akhir dari tindakan seorang percaya bukanlah kesempurnaan dari yang ia lakukan, melainkan kesungguhan di dalam melakukan perbuatan-perbuatan tersebut. Ia mengatakan, Hendaklah kesempurnaan itu menjadi tujuan yang terbayang di mata kita, agar hanya itulah yang kita usahakan dengan tekun. Hendaklah itu dijadikan garis akhir bagi kita, yang menjadi sasaran dalam kita berupaya dan berlomba… Sebab yang pertama dianjurkan Allah sebagai bagian terpenting pengabdian kepada-Nya ialah ketulusan;… kebulatan hati yang sungguh-sungguh ikhlas, yang tidak kenal tipu dan pura-pura, dan yang lawannya ialah hati yang mendua; seakan-akan dikatakan bahwa hidup lurus mempunyai asas yang bersifat rohani, yaitu bahwa perasaan hati dan batin kita tanpa berpura-pura dibaktikan kepada Allah untuk melakukan kesucian dan kebenaran.[7]

Calvin memandang kehidupan yang telah dibenarkan dan dikuduskan oleh Allah sebagai kehidupan yang harus diusahakan dengan sungguh-sungguh, di mana seorang Kristen dituntut untuk sungguh-sungguh hidup dalam ketulusan dalam mengikuti Tuhan. Di sisi yang lain, Calvin juga sangat menegaskan bahwa tidak mungkin manusia mencapai kesempurnaan dalam usahanya untuk melakukan kehendak Allah, tetapi ia juga memandang bahwa ajaran tentang pembenaran justru menyadarkan orang percaya bahwa mereka tetap berdosa dan memerlukan anugerah Allah. Dan karena mereka telah dibebaskan dari kekhawatiran mengenai keselamatan, mereka dapat mencurahkan segala perhatian kepada pengudusan dan berusaha sekuat tenaga untuk menghindari dosa dan menaati perintah-perintah Allah.”[8]




[1] Yohanes Calvin, Institutio Pengajaran Agama Kristen, Terj. Winarsih, J.S. Aritonang, Th. Van den End (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2000), 148.
[2] Ibid., 148-154.
[3] Ibid., 148-149.
[4] Calvin, Calvin’s Commentaries, The Epistles of Paul the Apostle to the Romans and the Thessalonians, 181.

[5] John Calvin, Calvin’s Commentaries, The Epistles of Paul the Apostle to the Hebrews and The First and Second Epistles of St. Peter, (Terj.) William B. Jhonston (Grand Rapids: Wm. B. Eerdmans Publishing Company, 1989), 275-276.
[6] Calvin, Institutes of the Christian Religion, 3-4.

[7] Calvin, Institutio Pengajaran Agama Kristen, 149.
[8] Jonge, Apa Itu Calvinisme?, 57.