Relasi Pembenaran Dengan Pengudusan 2
Relasi pembenaran dengan pengudusan ~ Calvin
mengajarkan bahwa anugerah iman itu selalu bersifat rangkap, yang terdiri atas
pembenaran orang berdosa dan pembaharuan hidup yang tampak dalam
perbuatan-perbuatan yang berkenan kepada Allah.[1] Ia memandang pembenaran Allah di dalam Kristus
sebagai realitas yang menyelamatkan, dan pengudusan sebagai anugerah yang
menjadikan manusia berkenan kepada Allah. “When God, after having taken man out
of such a pit of perdition, has sanctified him by the grace of adoption,
because he has regenerated and reformed him in a new life, he also receives and
embrances him as a new creature with the gifts of the Spirit.”[2]
Secara tegas ia menyatakan bahwa tidak mungkin manusia mencapai kesempurnaan dalam usahanya untuk melakukan kehendak Allah. Di sini dapat dilihat bahwa ajaran tentang pembenaran justru menyadarkan orang percaya bahwa mereka tetap orang berdosa yang masih membutuhkan anugerah Allah. Karena itu dengan melihat kepada anugerah Allah, orang percaya seharusnya mencurahkan segala perhatian kepada pengudusan dan berusaha sekuat tenaga untuk menghindari dosa dan menaat perintah-perintah Allah. Di dalam Calvin’s Commentaries dalam menafsirkan Roma 6:19, ia menyatakan, “I understand the law and the rule of righteous living, the purpose of which is sanctification, so that believers may consecrate themselves in purity to the service of God.”[3]
Baca juga: Relasi Antara Antropologi Dan Kristologi.
Melanjuti pernyataan di atas, Calvin menyatakan, “From righteousness we gather the fruit which is bears in this life, viz. sanctification. For the future, we hope for the eternal life.”[4] Ia mengatakan bahwa gambar dan rupa Allah yang kudus dan benar dilahirkan kembali dalam diri kita untuk mempersiapkan kita bagi hidup kekal dan kemuliaan.
Di dalam Institutes Calvin menunjuk kepada penyesalan dan pengampunan dosa, ketika berbicara tentang tindakan Allah yang membenarkan umat-Nya secara cuma-cuma. Dan pada saat yang sama, Allah juga memperbaharui setiap orang percaya kepada kesucian yang sesungguhnya melalui pengudusan yang dikerjakan oleh Roh-Nya.[5]
Menurut John H. Leith[6], pemikiran Calvin tersebut dapat disimpulkan dalam
dua pokok, yaitu pertama, antara pembenaran dan pengudusan, keduanya tidak
dapat dipisahkan. Iman tidak pernah dihubungkan dengan Allah tanpa karunia
pengudusan, karena pada akhirnya setiap orang akan dibenarkan dan menyembah
Allah dalam hidup yang kudus. Kristus telah membersihkan orang percaya dengan
darah-Nya dan telah mendamaikan mereka dengan Allah. Dan Ia juga telah
memberikan tempat bagi mereka di dalam Roh-Nya yang membaharui mereka ke dalam hidup
yang suci.[7]
Ia menyatakan, “iman tidak memiliki arti pada dirinya
sendiri, karena iman mendapatkan nilainya hanya di dalam Yesus Kristus. Kita
bisa berkata bahwa iman membenarkan, di mana bukan seperti yang dinyatakan
sebagai kebenaran bagi kita dari eksistensinya sendiri, tetapi karena iman
sebagai instrumen yang melaluinya kita mendapatkan dengan cuma-cuma kebenaran
Kristus.”[8] Dan melalui iman di dalam Kristuslah Allah
membenarkan dan menguduskan orang percaya.
Kedua, karunia pembenaran dan pengudusan tidak dapat
dikaburkan atau menjadi keliru. Para Bapa gereja di Trent melihat pembenaran
dalam dua sisi, yaitu seseorang dibenarkan secara terpisah dari pengampunan
dosa dan dari kelahiran baru. Dalam menanggapi pandangan ini Calvin menyatakan
bahwa, hanya ada satu pembenaran yang secara sederhana dan penuh dimasukkan ke
dalam penerimaan anugerah Allah yang dinyatakan tanpa usaha manusia, karena
manusia dibenarkan hanya dalam Kristus. Hubungan antara pembenaran dan
pengudusan selalu dinamis dan vital. Pembenaran memberikan dasar yang
sesungguhnya di dalam pertumbuhan hidup orang Kristen. Calvin memandang bahwa
hanya kepercayaan (confidence) yang berasal dari pengalaman dibenarkan karena
iman saja yang dapat dijadikan sebagai satu-satunya dasar yang memungkinkan
bagi pengudusan yang sebenarnya.[9]
Di
dalam dirinya sendiri, manusia tidak akan mungkin diselamatkan dan dibenarkan
secara moral di hadapan Allah. Hanya di dalam anugerah dan kebenaran Kristuslah
maka seseorang diselamatkan dan dibenarkan dihadapan Allah. Sehingga dengan
demikian, kehidupannya yang telah dibenarkan itu dapat diperhitungkan sebagai
hidup dalam kekudusan Tuhan.
Senada dengan pemikiran di atas, Calvin menyatakan,
The manner of their justification must of necessity be very different from that of their renovation to newness of life. For the latter God commences in his elect, and as long as they live carries on gradually, and sometimes slowly… He justifies them, however, not in a partial manner, but so completely, that they may boldly appear in heaven, as being invested with the purity of Christ.[10]