Doktrin Yang Mengajarkan Tentang Allah
Doktrin yang mengajarkan tentang Allah ~ Doktrin tentang TUHAN Allah dan prinsip-prinsipnya perlu dibahas. Hal ini disebabkan karena doktrin tentang TUHAN Allah merupakan dasar iman Kristen. Doktrin tentang TUHAN Allah sangat menentukan bagaimana kita memandang alam semesta, ciptaan, manusia, dll.
Tujuh Prinsip Kedaulatan Allah
Theologia Reformed/Calvinisme mempercayai inti doktrin TUHAN Allah di dalam Alkitab yaitu Kedaulatan Allah (Boettner, 2000, p. 11). Di dalam doktrin Kedaulatan Allah ini, terkandung beberapa prinsip :
Pertama, TUHAN Allah yang berdaulat adalah TUHAN Allah yang Esa sebagai Pencipta dan Pemelihara alam semesta. Doktrin TUHAN Allah sebagai Pencipta dan Pemelihara ini seharusnya menjadi doktrin dasar yang begitu kuat khususnya menyerang 2 pandangan filsafat dunia, yaitu Evolusionisme yang menyangkali adanya doktrin Penciptaan dan Deisme yang mempercayai setelah menciptakan alam semesta, TUHAN Allah tidak memeliharanya dan hanya menyerahkannya kepada hukum alam.
TUHAN Allah sebagai Pencipta bukan sekedar teori yang muluk-muluk, tetapi hendak menyatakan suatu implikasi praktis yaitu adanya Sumber Hidup. TUHAN Allah yang menciptakan manusia berarti Dialah Sumber Hidup kita yang sekaligus juga memelihara hidup kita sehari-hari (Pencipta dan Pemelihara).
Oleh karena itu, sebagai makhluk ciptaan-Nya, kita sudah seharusnya bersyukur dan terus bergantung di dalam-Nya karena hanya Dialah Sumber Hidup yang layak dipercayai sepenuhnya. “Bergantung/berserah” itulah beriman (Pdt. Dr. Stephen Tong menyebutnya sebagai isi iman pertama). Ini berarti TUHAN Allah harus menjadi TUHAN dan Raja yang mengatur hidup kita karena kita adalah ciptaan-Nya. Tentu tidak berarti kalau TUHAN Allah sudah mengatur hidup kita, maka kita seperti robot (tidak memiliki kehendak bebas). Theologia Reformed mengajarkan keseimbangan antara kedaulatan TUHAN Allah dan “kehendak bebas” manusia yang tetap berada di dalam pengawasan TUHAN Allah.
Kedua, TUHAN Allah yang Berdaulat adalah TUHAN Allah yang Kekal dan tidak bergantung pada apa dan siapapun.
TUHAN Allah yang Berdaulat tentulah TUHAN Allah yang tidak terbatas/kekal. TUHAN Allah yang kekal berarti TUHAN Allah itu tidak terikat oleh ruang dan waktu seperti manusia yang sementara/fana/terbatas adanya. Dengan kata lain, TUHAN Allah yang kekal ini adalah TUHAN Allah yang melampaui ruang dan waktu.
Di dalam kekekalan-Nya, Ia merencanakan dan menetapkan segala sesuatu di dalam sejarah dunia. Karena Dia tidak mungkin berubah, maka Ia tidak mungkin bersalah atau mengubah rencana yang telah ditetapkan-Nya sejak semula. Karena tak mungkin bersalah atau mengubah rencana-Nya, maka Dia juga tidak memerlukan apa dan siapapun sebagai penasehat-Nya di dalam menjalankan rencana-Nya. Apa signifikansi penting doktrin ini? Kalau pada poin pertama TUHAN Allah adalah Pencipta dan Pemelihara, maka tentu saja TUHAN Allah tersebut adalah TUHAN Allah yang tetap dan tak mungkin berubah. Jika TUHAN Allah itu Pencipta dan Pemelihara lalu Dia berubah, bukankah alam semesta yang diciptakan-Nya pun tiba-tiba bisa diubah-Nya seenaknya sendiri (misalnya, matahari terbit pada sore/malam hari dan terbenam pada pagi hari).
Dan yang paling celaka, dunia ini tambah lama tambah kacau. Di dalam hal keselamatan, Allah yang Kekal adalah Allah yang telah merencanakan dan menetapkan keselamatan. Adapun urutan ketetapan Allah di dalam keselamatan secara ringkas, yaitu: 1. TUHAN Allah memilih beberapa manusia yang telah berdosa untuk menjadi anak-anak-Nya. 2. Secara otomatis, sisa dari manusia yang tidak dipilih-Nya tentu ditolak-Nya (reprobasi). 3. Bagi umat pilihan-Nya, TUHAN Allah Bapa mengutus Yesus Kristus untuk menebus manusia berdosa. 4. Roh Kudus mengefektifkan karya penebusan Kristus ini ke dalam hati umat pilihan-Nya. 5. Roh Kudus memimpin umat pilihan TUHAN Allah berjalan di dalam kekudusan sehingga mereka dapat menyerupai gembar dan rupa Kakak Sulung mereka, Kristus (Roma 8:29). 6.
Umat pilihan-Nya masuk ke dalam Surga dan bersama dengan Kristus selama-lamanya. Selain itu, TUHAN Allah yang kekal atau melampaui ruang dan waktu menguatkan iman kita bahwa apapun yang kita pikir, lakukan dan katakan diketahui oleh TUHAN Allah, sehingga kita tidak bisa membohongi-Nya. Semua rencana dan penetapan keselamatan dari TUHAN Allah ini adalah kekal dan tidak ada yang dapat mengganti atau mempengaruhi-Nya untuk mengubahnya. Lalu, apakah karena TUHAN Allah telah menetapkan segala sesuatu di dalam keselamatan, berarti kita tidak perlu menginjili? TIDAK. Kedaulatan TUHAN Allah yang menetapkan segala sesuatu adalah urusan TUHAN Allah, sedangkan penginjilan adalah kewajiban kita yang diperintahkan oleh Kristus (Matius 28:19-20). Selanjutnya akan dibahas pada Doktrin Keselamatan.
Ketiga, TUHAN Allah yang Berdaulat adalah TUHAN Allah yang Berkuasa mutlak. Pdt. Dr. Stephen Tong di dalam khotbahnya di National Reformed Evangelical Convention (NREC) 2006 mengaitkan kedua konsep ini bahwa beriman di dalam TUHAN Allah yang Mahakuasa seharusnya juga berkait dengan beriman di dalam Allah yang Berdaulat mutlak.
Memisahkan kedua hal ini merupakan suatu penyimpangan doktrin yang melawan Alkitab. Contohnya, banyak gereja-gereja kontemporer yang pop mengajarkan bahwa TUHAN Allah kita Mahakuasa, Ia pasti menyembuhkan penyakit, dll. Mereka berpikir bahwa TUHAN Allah yang Mahakuasa adalah TUHAN Allah yang “pasti mau” mengabulkan apa yang diminta oleh manusia (Allah mirip seperti “pembantu”nya yang dapat disuruh-suruh). Itu bukan TUHAN Allah yang Mahakuasa. TUHAN Allah yang Mahakuasa adalah TUHAN Allah yang berkuasa mutlak sekaligus Berdaulat. TUHAN Allah memang mampu menyembuhkan penyakit, melepaskan kita dari penderitaan, dll, tetapi belum tentu Dia mau melakukannya, karena segala sesuatu harus terjadi atas kehendak dan rencana-Nya (lihat poin kedua).
Keempat, TUHAN Allah yang Berdaulat adalah TUHAN Allah yang Trinitas, yaitu Tiga pribadi TUHAN Allah (Allah Bapa, Allah Putra dan Allah Roh Kudus) di dalam satu Esensi Allah. Doktrin Trinitas selalu mendapat serangan khususnya dari agama Islam yang mengajarkan bahwa “Allah” tidak mempunyai anak. Pengertian mereka tidak pernah tuntas mengerti Allah Trinitas, tetapi mereka berani berkata seenaknya sendiri (wajar saja, manusia berdosa).
Oleh karena itu, marilah kita mengerti kedaulatan Allah yang menyatakan diri-Nya di dalam Tiga Pribadi tetapi satu esensi. Paradigma ini bukanlah paradigma yang berkontradiksi, tetapi paradoks. Kita bukan berpikir tiga atau satu, tetapi tiga dan satu. Tiga dan satu berarti tiga Pribadi TUHAN Allah yang masing-masing pribadi yang berbeda dengan kehendak, pikiran, dan emosi/perasaan yang berbeda, tetapi ketiga pribadi ini bukan berarti tiga TUHAN Allah, tetapi satu esensi TUHAN Allah. Meskipun ketiga pribadi TUHAN Allah ini memiliki emosi, kehendak dan pikiran yang berbeda-beda tetapi tujuan mereka hanya satu yaitu tujuan TUHAN Allah.
Kelima, TUHAN Allah yang Berdaulat adalah Allah yang transenden (nun jauh di sana) dan sekaligus imanen (yang dekat dengan manusia). Semua agama di dunia (kecuali Kristen) selalu mengajarkan ketidakseimbangan konsep ini. Di dalam Islam, “Allah” digambarkan sangat transenden, sehingga manusia tidak memiliki Allah yang dekat dengan mereka. Sedangkan, di dalam Hinduisme dan Buddhisme, “Allah” digambarkan sangat imanen, bahkan yang paling berbahaya adalah pandangan Buddhisme (yang juga dianut oleh pandangan mistik Gerakan Zaman Baru/New Age Movement lainnya) yang mengajarkan bahwa semua manusia bisa menjadi Buddha (“allah”). Di dalam keKristenan pun, konsep ketidakseimbangan ini diajarkan.
Di dalam Gereja Katolik Roma (zaman Martin Luther), Allah digambarkan sangat transenden, yaitu Allah yang selalu menghukum manusia jika tidak taat. Sedangkan, di dalam mayoritas gereja/gerakan Karismatik/Pentakosta, Allah digambarkan sangat imanen, sehingga ada salah satu tokoh gerakan ini yang mengajarkan manusia itu adalah little gods (ilah-ilah kecil) yang bisa “mengatur” Allah untuk memenuhi segala keinginannya yang berdosa. Kedua konsep ini sangat ditolak Alkitab. Sebaliknya, Alkitab mengajarkan bahwa TUHAN Allah itu transenden, yaitu Mahakudus, Mahaagung, Mahakuasa, Mahadahsyat, Mahaadil, dll, tetapi juga sekaligus TUHAN Allah itu adalah TUHAN Allah yang imanen, dekat dengan manusia, Mahakasih (salah satu wujudnya adalah inkarnasi di dalam Pribadi Tuhan Yesus Kristus, Allah yang menjadi manusia).
Hal ini memiliki signifikansi penting di dalam kehidupan kita sehari-hari. Doktrin ini membuat kita harus menghormati-Nya di dalam ibadah, doa, saat teduh, dan kegiatan rohani kita sambil tetap menikmati-Nya sebagai wujud relasi yang intim antara Allah dengan kita. Katekismus Singkat Westminster pasal 1 menyatakan bahwa tujuan utama manusia adalah memuliakan Allah dan menikmati Dia untuk selama-lamanya. Di dalam ibadah, unsur menghormati dan menyembah Allah harus diutamakan di samping ada unsur persekutuan yang intim dengan Allah (dan sesama).
Di dalam hubungan antar pribadi kita, kita pun bisa mencontoh pola ini, misalnya antara bos dan karyawan. Di dunia ini, seringkali bos/majikan bertindak seenaknya sendiri terhadap karyawan seolah-olah karyawan itu bukan manusia (misalnya, dipukuli, diperkosa, dll), sebaliknya ada bos/majikan yang terlalu baik bahkan menganggap karyawan/pembantunya adalah bagian dari keluarga. Kedua hal ini tidak seimbang. KeKristenan mengajarkan bahwa atasan (bos/majikan) tetap harus menghargai bawahannya sebagai manusia, mengasihi mereka, tetapi tidak memanjakan mereka (dalam arti, kalau mereka bersalah, sang majikan berhak menegur kalau perlu menghukum mereka dengan layak).
Keenam, TUHAN Allah yang Berdaulat adalah TUHAN Allah yang menyatakan diri. TUHAN Allah yang Berdaulat tentu berdaulat juga di dalam membatasi diri-Nya untuk dikenal oleh ciptaan (sungguh sangat tidak masuk akal jika ada salah satu agama yang menyerang keKristenan tentang konsep inkarnasi dengan ajaran yang berisi penolakan bahwa “Allah” tidak mungkin memiliki anak atau “Allah” tidak mungkin menjadi manusia). TUHAN Allah yang imanen ini menyatakan diri-Nya melalui penyataan/wahyu-Nya kepada manusia sehingga manusia dapat mengenal-Nya (Roma 1:19). Penyataan diri TUHAN Allah ini harus dimengerti di dalam konsep atribut-atribut TUHAN Allah. 1. TUHAN Allah memiliki atribut-atribut-Nya yang berada pada diri (tidak bergantung pada apa dan siapapun), yaitu atribut yang dapat dikomunikasikan (communicable attributes), yaitu “sifat-sifat” TUHAN Allah yang dikomunikasikan/diberikan kepada manusia, misalnya, kebajikan, keadilan, kekudusan dan kebenaran.
2. Atribut-atribut TUHAN Allah yang tidak dapat dikomunikasikan kepada manusia (incommunicable attributes), yaitu kekekalan, ketidakterbatasan, dll. Di dalam theologia Reformed, TUHAN Allah menyatakan diri-Nya dalam dua bentuk/sarana, yaitu pertama, wahyu umum (general revelation) yang dinyatakan oleh Allah kepada semua manusia tanpa kecuali melalui alam semesta (eksternal) dan hati nurani manusia (internal) (baca : Roma 1:20-21). Wahyu umum ini diresponi manusia secara eksternal (terhadap alam semesta) dengan munculnya kebudayaan (culture) dan secara internal (terhadap hati nurani) melalui munculnya agama (mengutip pernyataan dari Pdt. Dr. Stephen Tong). Tetapi bisakah hanya dengan wahyu umum TUHAN Allah, manusia mengenal dan menyembah-Nya? TIDAK. Rasul Paulus mengatakan di dalam Roma 1:21, “Sebab sekalipun mereka mengenal Allah, mereka tidak memuliakan Dia sebagai Allah atau mengucap syukur kepada-Nya. Sebaliknya pikiran mereka menjadi sia-sia dan hati mereka yang bodoh menjadi gelap.” Dosa manusialah yang mengakibatkan mereka yang sudah mengenal-Nya, tak pernah memuliakan-Nya sebagai TUHAN Allah.
Oleh karena itu, TUHAN Allah memberikan wahyu-Nya yang kedua, yaitu wahyu khusus yang diberikan hanya kepada umat pilihan yang telah ditetapkan-Nya dari semula melalui dua bentuk, yaitu Alkitab (wahyu yang tertulis) dan inkarnasi Tuhan Yesus (wahyu yang tidak tertulis/nyata). Marilah kita membahas dua hal ini pada poin Doktrin Alkitab dan Doktrin Kristus.
Ketujuh, TUHAN Allah yang Berdaulat adalah TUHAN Allah yang Mahakasih sekaligus Mahaadil. Kalau kita mengerti tentang Pribadi TUHAN Allah yang Berdaulat, jangan sekali-kali memisahkan atribut-atribut-Nya, karena atribut-atribut-Nya menyatakan bahwa diri-Nya adalah Berdaulat mutlak. Mengapa? Karena atribut-atribut-Nya menyatakan suatu kekonsistenan di dalam diri TUHAN Allah. Manusia di dunia selalu berkontradiksi di dalam membangun paradigma mereka yang berdosa dan melawan TUHAN Allah, apalagi jika diselidiki pribadi manusia itu sendiri berkontradiksi di dalam dirinya bahkan dapat dikatakan munafik. Artinya, mereka bisa manis dan sopan di luar (fenomena), tetapi jika diselidiki, hati mereka busuk dan keji adanya (esensi). Bagaimana dengan TUHAN Allah? TUHAN Allah yang Berdaulat tentu sangat berbeda dengan manusia.
Maka, TUHAN Allah yang Berdaulat tak mungkin berkontradiksi di dalam atribut-atribut-Nya. Ketika Alkitab menyatakan bahwa Dia itu Mahakasih, Dia juga disebut Mahaadil, Mahabenar, Mahamulia, Mahaagung, dan Mahakudus. Semua atribut-Nya tak pernah terpisah satu sama lain, tetapi saling terkait. Ambil contoh, di dalam Perjanjian Lama, ketika TUHAN Allah menghukum bangsa Israel yang tidak setia, Ia tetap menunjukkan kasih setia-Nya dengan mengampuni mereka ketika mereka berbalik dan kembali kepada-Nya. Di dalam Perjanjian Baru, TUHAN Allah yang mengasihi manusia berdosa dengan mengutus Kristus untuk menebus dosa manusia, dan selanjutnya bagi mereka yang percaya (tentu umat pilihan-Nya) maka TUHAN Allah tidak menghukum mereka, tetapi bagi mereka yang tidak percaya (tentu kaum reprobat/ditentukan TUHAN Allah untuk binasa), maka TUHAN Allah menghukum mereka (Yohanes 3:16-18).
Tujuh Prinsip Kedaulatan Allah
Theologia Reformed/Calvinisme mempercayai inti doktrin TUHAN Allah di dalam Alkitab yaitu Kedaulatan Allah (Boettner, 2000, p. 11). Di dalam doktrin Kedaulatan Allah ini, terkandung beberapa prinsip :
Pertama, TUHAN Allah yang berdaulat adalah TUHAN Allah yang Esa sebagai Pencipta dan Pemelihara alam semesta. Doktrin TUHAN Allah sebagai Pencipta dan Pemelihara ini seharusnya menjadi doktrin dasar yang begitu kuat khususnya menyerang 2 pandangan filsafat dunia, yaitu Evolusionisme yang menyangkali adanya doktrin Penciptaan dan Deisme yang mempercayai setelah menciptakan alam semesta, TUHAN Allah tidak memeliharanya dan hanya menyerahkannya kepada hukum alam.
TUHAN Allah sebagai Pencipta bukan sekedar teori yang muluk-muluk, tetapi hendak menyatakan suatu implikasi praktis yaitu adanya Sumber Hidup. TUHAN Allah yang menciptakan manusia berarti Dialah Sumber Hidup kita yang sekaligus juga memelihara hidup kita sehari-hari (Pencipta dan Pemelihara).
Oleh karena itu, sebagai makhluk ciptaan-Nya, kita sudah seharusnya bersyukur dan terus bergantung di dalam-Nya karena hanya Dialah Sumber Hidup yang layak dipercayai sepenuhnya. “Bergantung/berserah” itulah beriman (Pdt. Dr. Stephen Tong menyebutnya sebagai isi iman pertama). Ini berarti TUHAN Allah harus menjadi TUHAN dan Raja yang mengatur hidup kita karena kita adalah ciptaan-Nya. Tentu tidak berarti kalau TUHAN Allah sudah mengatur hidup kita, maka kita seperti robot (tidak memiliki kehendak bebas). Theologia Reformed mengajarkan keseimbangan antara kedaulatan TUHAN Allah dan “kehendak bebas” manusia yang tetap berada di dalam pengawasan TUHAN Allah.
Kedua, TUHAN Allah yang Berdaulat adalah TUHAN Allah yang Kekal dan tidak bergantung pada apa dan siapapun.
TUHAN Allah yang Berdaulat tentulah TUHAN Allah yang tidak terbatas/kekal. TUHAN Allah yang kekal berarti TUHAN Allah itu tidak terikat oleh ruang dan waktu seperti manusia yang sementara/fana/terbatas adanya. Dengan kata lain, TUHAN Allah yang kekal ini adalah TUHAN Allah yang melampaui ruang dan waktu.
Di dalam kekekalan-Nya, Ia merencanakan dan menetapkan segala sesuatu di dalam sejarah dunia. Karena Dia tidak mungkin berubah, maka Ia tidak mungkin bersalah atau mengubah rencana yang telah ditetapkan-Nya sejak semula. Karena tak mungkin bersalah atau mengubah rencana-Nya, maka Dia juga tidak memerlukan apa dan siapapun sebagai penasehat-Nya di dalam menjalankan rencana-Nya. Apa signifikansi penting doktrin ini? Kalau pada poin pertama TUHAN Allah adalah Pencipta dan Pemelihara, maka tentu saja TUHAN Allah tersebut adalah TUHAN Allah yang tetap dan tak mungkin berubah. Jika TUHAN Allah itu Pencipta dan Pemelihara lalu Dia berubah, bukankah alam semesta yang diciptakan-Nya pun tiba-tiba bisa diubah-Nya seenaknya sendiri (misalnya, matahari terbit pada sore/malam hari dan terbenam pada pagi hari).
Dan yang paling celaka, dunia ini tambah lama tambah kacau. Di dalam hal keselamatan, Allah yang Kekal adalah Allah yang telah merencanakan dan menetapkan keselamatan. Adapun urutan ketetapan Allah di dalam keselamatan secara ringkas, yaitu: 1. TUHAN Allah memilih beberapa manusia yang telah berdosa untuk menjadi anak-anak-Nya. 2. Secara otomatis, sisa dari manusia yang tidak dipilih-Nya tentu ditolak-Nya (reprobasi). 3. Bagi umat pilihan-Nya, TUHAN Allah Bapa mengutus Yesus Kristus untuk menebus manusia berdosa. 4. Roh Kudus mengefektifkan karya penebusan Kristus ini ke dalam hati umat pilihan-Nya. 5. Roh Kudus memimpin umat pilihan TUHAN Allah berjalan di dalam kekudusan sehingga mereka dapat menyerupai gembar dan rupa Kakak Sulung mereka, Kristus (Roma 8:29). 6.
Umat pilihan-Nya masuk ke dalam Surga dan bersama dengan Kristus selama-lamanya. Selain itu, TUHAN Allah yang kekal atau melampaui ruang dan waktu menguatkan iman kita bahwa apapun yang kita pikir, lakukan dan katakan diketahui oleh TUHAN Allah, sehingga kita tidak bisa membohongi-Nya. Semua rencana dan penetapan keselamatan dari TUHAN Allah ini adalah kekal dan tidak ada yang dapat mengganti atau mempengaruhi-Nya untuk mengubahnya. Lalu, apakah karena TUHAN Allah telah menetapkan segala sesuatu di dalam keselamatan, berarti kita tidak perlu menginjili? TIDAK. Kedaulatan TUHAN Allah yang menetapkan segala sesuatu adalah urusan TUHAN Allah, sedangkan penginjilan adalah kewajiban kita yang diperintahkan oleh Kristus (Matius 28:19-20). Selanjutnya akan dibahas pada Doktrin Keselamatan.
Ketiga, TUHAN Allah yang Berdaulat adalah TUHAN Allah yang Berkuasa mutlak. Pdt. Dr. Stephen Tong di dalam khotbahnya di National Reformed Evangelical Convention (NREC) 2006 mengaitkan kedua konsep ini bahwa beriman di dalam TUHAN Allah yang Mahakuasa seharusnya juga berkait dengan beriman di dalam Allah yang Berdaulat mutlak.
Memisahkan kedua hal ini merupakan suatu penyimpangan doktrin yang melawan Alkitab. Contohnya, banyak gereja-gereja kontemporer yang pop mengajarkan bahwa TUHAN Allah kita Mahakuasa, Ia pasti menyembuhkan penyakit, dll. Mereka berpikir bahwa TUHAN Allah yang Mahakuasa adalah TUHAN Allah yang “pasti mau” mengabulkan apa yang diminta oleh manusia (Allah mirip seperti “pembantu”nya yang dapat disuruh-suruh). Itu bukan TUHAN Allah yang Mahakuasa. TUHAN Allah yang Mahakuasa adalah TUHAN Allah yang berkuasa mutlak sekaligus Berdaulat. TUHAN Allah memang mampu menyembuhkan penyakit, melepaskan kita dari penderitaan, dll, tetapi belum tentu Dia mau melakukannya, karena segala sesuatu harus terjadi atas kehendak dan rencana-Nya (lihat poin kedua).
Keempat, TUHAN Allah yang Berdaulat adalah TUHAN Allah yang Trinitas, yaitu Tiga pribadi TUHAN Allah (Allah Bapa, Allah Putra dan Allah Roh Kudus) di dalam satu Esensi Allah. Doktrin Trinitas selalu mendapat serangan khususnya dari agama Islam yang mengajarkan bahwa “Allah” tidak mempunyai anak. Pengertian mereka tidak pernah tuntas mengerti Allah Trinitas, tetapi mereka berani berkata seenaknya sendiri (wajar saja, manusia berdosa).
Oleh karena itu, marilah kita mengerti kedaulatan Allah yang menyatakan diri-Nya di dalam Tiga Pribadi tetapi satu esensi. Paradigma ini bukanlah paradigma yang berkontradiksi, tetapi paradoks. Kita bukan berpikir tiga atau satu, tetapi tiga dan satu. Tiga dan satu berarti tiga Pribadi TUHAN Allah yang masing-masing pribadi yang berbeda dengan kehendak, pikiran, dan emosi/perasaan yang berbeda, tetapi ketiga pribadi ini bukan berarti tiga TUHAN Allah, tetapi satu esensi TUHAN Allah. Meskipun ketiga pribadi TUHAN Allah ini memiliki emosi, kehendak dan pikiran yang berbeda-beda tetapi tujuan mereka hanya satu yaitu tujuan TUHAN Allah.
Kelima, TUHAN Allah yang Berdaulat adalah Allah yang transenden (nun jauh di sana) dan sekaligus imanen (yang dekat dengan manusia). Semua agama di dunia (kecuali Kristen) selalu mengajarkan ketidakseimbangan konsep ini. Di dalam Islam, “Allah” digambarkan sangat transenden, sehingga manusia tidak memiliki Allah yang dekat dengan mereka. Sedangkan, di dalam Hinduisme dan Buddhisme, “Allah” digambarkan sangat imanen, bahkan yang paling berbahaya adalah pandangan Buddhisme (yang juga dianut oleh pandangan mistik Gerakan Zaman Baru/New Age Movement lainnya) yang mengajarkan bahwa semua manusia bisa menjadi Buddha (“allah”). Di dalam keKristenan pun, konsep ketidakseimbangan ini diajarkan.
Di dalam Gereja Katolik Roma (zaman Martin Luther), Allah digambarkan sangat transenden, yaitu Allah yang selalu menghukum manusia jika tidak taat. Sedangkan, di dalam mayoritas gereja/gerakan Karismatik/Pentakosta, Allah digambarkan sangat imanen, sehingga ada salah satu tokoh gerakan ini yang mengajarkan manusia itu adalah little gods (ilah-ilah kecil) yang bisa “mengatur” Allah untuk memenuhi segala keinginannya yang berdosa. Kedua konsep ini sangat ditolak Alkitab. Sebaliknya, Alkitab mengajarkan bahwa TUHAN Allah itu transenden, yaitu Mahakudus, Mahaagung, Mahakuasa, Mahadahsyat, Mahaadil, dll, tetapi juga sekaligus TUHAN Allah itu adalah TUHAN Allah yang imanen, dekat dengan manusia, Mahakasih (salah satu wujudnya adalah inkarnasi di dalam Pribadi Tuhan Yesus Kristus, Allah yang menjadi manusia).
Hal ini memiliki signifikansi penting di dalam kehidupan kita sehari-hari. Doktrin ini membuat kita harus menghormati-Nya di dalam ibadah, doa, saat teduh, dan kegiatan rohani kita sambil tetap menikmati-Nya sebagai wujud relasi yang intim antara Allah dengan kita. Katekismus Singkat Westminster pasal 1 menyatakan bahwa tujuan utama manusia adalah memuliakan Allah dan menikmati Dia untuk selama-lamanya. Di dalam ibadah, unsur menghormati dan menyembah Allah harus diutamakan di samping ada unsur persekutuan yang intim dengan Allah (dan sesama).
Di dalam hubungan antar pribadi kita, kita pun bisa mencontoh pola ini, misalnya antara bos dan karyawan. Di dunia ini, seringkali bos/majikan bertindak seenaknya sendiri terhadap karyawan seolah-olah karyawan itu bukan manusia (misalnya, dipukuli, diperkosa, dll), sebaliknya ada bos/majikan yang terlalu baik bahkan menganggap karyawan/pembantunya adalah bagian dari keluarga. Kedua hal ini tidak seimbang. KeKristenan mengajarkan bahwa atasan (bos/majikan) tetap harus menghargai bawahannya sebagai manusia, mengasihi mereka, tetapi tidak memanjakan mereka (dalam arti, kalau mereka bersalah, sang majikan berhak menegur kalau perlu menghukum mereka dengan layak).
Keenam, TUHAN Allah yang Berdaulat adalah TUHAN Allah yang menyatakan diri. TUHAN Allah yang Berdaulat tentu berdaulat juga di dalam membatasi diri-Nya untuk dikenal oleh ciptaan (sungguh sangat tidak masuk akal jika ada salah satu agama yang menyerang keKristenan tentang konsep inkarnasi dengan ajaran yang berisi penolakan bahwa “Allah” tidak mungkin memiliki anak atau “Allah” tidak mungkin menjadi manusia). TUHAN Allah yang imanen ini menyatakan diri-Nya melalui penyataan/wahyu-Nya kepada manusia sehingga manusia dapat mengenal-Nya (Roma 1:19). Penyataan diri TUHAN Allah ini harus dimengerti di dalam konsep atribut-atribut TUHAN Allah. 1. TUHAN Allah memiliki atribut-atribut-Nya yang berada pada diri (tidak bergantung pada apa dan siapapun), yaitu atribut yang dapat dikomunikasikan (communicable attributes), yaitu “sifat-sifat” TUHAN Allah yang dikomunikasikan/diberikan kepada manusia, misalnya, kebajikan, keadilan, kekudusan dan kebenaran.
2. Atribut-atribut TUHAN Allah yang tidak dapat dikomunikasikan kepada manusia (incommunicable attributes), yaitu kekekalan, ketidakterbatasan, dll. Di dalam theologia Reformed, TUHAN Allah menyatakan diri-Nya dalam dua bentuk/sarana, yaitu pertama, wahyu umum (general revelation) yang dinyatakan oleh Allah kepada semua manusia tanpa kecuali melalui alam semesta (eksternal) dan hati nurani manusia (internal) (baca : Roma 1:20-21). Wahyu umum ini diresponi manusia secara eksternal (terhadap alam semesta) dengan munculnya kebudayaan (culture) dan secara internal (terhadap hati nurani) melalui munculnya agama (mengutip pernyataan dari Pdt. Dr. Stephen Tong). Tetapi bisakah hanya dengan wahyu umum TUHAN Allah, manusia mengenal dan menyembah-Nya? TIDAK. Rasul Paulus mengatakan di dalam Roma 1:21, “Sebab sekalipun mereka mengenal Allah, mereka tidak memuliakan Dia sebagai Allah atau mengucap syukur kepada-Nya. Sebaliknya pikiran mereka menjadi sia-sia dan hati mereka yang bodoh menjadi gelap.” Dosa manusialah yang mengakibatkan mereka yang sudah mengenal-Nya, tak pernah memuliakan-Nya sebagai TUHAN Allah.
Oleh karena itu, TUHAN Allah memberikan wahyu-Nya yang kedua, yaitu wahyu khusus yang diberikan hanya kepada umat pilihan yang telah ditetapkan-Nya dari semula melalui dua bentuk, yaitu Alkitab (wahyu yang tertulis) dan inkarnasi Tuhan Yesus (wahyu yang tidak tertulis/nyata). Marilah kita membahas dua hal ini pada poin Doktrin Alkitab dan Doktrin Kristus.
Ketujuh, TUHAN Allah yang Berdaulat adalah TUHAN Allah yang Mahakasih sekaligus Mahaadil. Kalau kita mengerti tentang Pribadi TUHAN Allah yang Berdaulat, jangan sekali-kali memisahkan atribut-atribut-Nya, karena atribut-atribut-Nya menyatakan bahwa diri-Nya adalah Berdaulat mutlak. Mengapa? Karena atribut-atribut-Nya menyatakan suatu kekonsistenan di dalam diri TUHAN Allah. Manusia di dunia selalu berkontradiksi di dalam membangun paradigma mereka yang berdosa dan melawan TUHAN Allah, apalagi jika diselidiki pribadi manusia itu sendiri berkontradiksi di dalam dirinya bahkan dapat dikatakan munafik. Artinya, mereka bisa manis dan sopan di luar (fenomena), tetapi jika diselidiki, hati mereka busuk dan keji adanya (esensi). Bagaimana dengan TUHAN Allah? TUHAN Allah yang Berdaulat tentu sangat berbeda dengan manusia.
Maka, TUHAN Allah yang Berdaulat tak mungkin berkontradiksi di dalam atribut-atribut-Nya. Ketika Alkitab menyatakan bahwa Dia itu Mahakasih, Dia juga disebut Mahaadil, Mahabenar, Mahamulia, Mahaagung, dan Mahakudus. Semua atribut-Nya tak pernah terpisah satu sama lain, tetapi saling terkait. Ambil contoh, di dalam Perjanjian Lama, ketika TUHAN Allah menghukum bangsa Israel yang tidak setia, Ia tetap menunjukkan kasih setia-Nya dengan mengampuni mereka ketika mereka berbalik dan kembali kepada-Nya. Di dalam Perjanjian Baru, TUHAN Allah yang mengasihi manusia berdosa dengan mengutus Kristus untuk menebus dosa manusia, dan selanjutnya bagi mereka yang percaya (tentu umat pilihan-Nya) maka TUHAN Allah tidak menghukum mereka, tetapi bagi mereka yang tidak percaya (tentu kaum reprobat/ditentukan TUHAN Allah untuk binasa), maka TUHAN Allah menghukum mereka (Yohanes 3:16-18).